"Lo mainin cowok kayak gitu jadi prestasi emang, Kak, hah?"
"Lo ke pacar begitu dan lo pikir itu prestasi juga, hah?"
"Seenggaknya gue belajar komit sejak dini!"
"Nggak usah lo ngajarin gue soal komit! Anak kecil kayak lo tau apa soal komitmen. Bukannya gampang banget buat lo-lo semua itu matahin komit?"
"Alasan paling nggak masuk akal! Kalau kenapa-napa selalu bawa kalimat 'anak kecil tau apa'. Padahal tua juga belum tentu bener. Tua umur doang, logika nggak nyampe."
"Lemes banget mulut lo, Met?"
"Gue benci sama lo."
"Sinting emang lo rela maki gue cuma perkara kue ketan doang. Monyong."
Matanya mendelik, dia melempar tas ke sofa dan menghampiri gue. Udah mulai was-was nih. Yakali aja, tenaganya kuat banget woy. Kalau sampe dia nyekik gue di sini, yakin deh hidup gue juga bakalan kelar.
Tubuhnya berhenti di depan gue pas, tangannya disodorin di depan muka, "Bagi duit, Kak."
"Kambing lo!" Gue mundur dan mengembuskan napas kuat-kuat. "Gue kira lo kerasukan gitu kan, mau nyekik gue atau gimana. Duit mulu hidup lo. Minggat sana."
"Kemarin lo bilang kalau gue anter-jemput lo bakalan ditambahin. Udah kue gue diabisin, duit nggak dibayar."
Gue ngakak.
"Gue bilangin Ibu ya, kalau lo mainin cowok banyak."
"Lemes, najis."
"Yaudah minta duit makanya."
"Berapa?" Tangannya memamerkan lima jari. "Banyak bener woy!"
"Kan beberapa hari, pulang pergi. Lo kira nyupir di Jakarta nggak butuh effort? Belum lagi gue kan rawan ditilang."
"Lah apa hubungannya? SIM lo udah jadi. Udah ah bacot. Gue kirim nih. Tapi awas kalau gue butuh apa-apa lo nggak guna."
"Bu! Kak Miya put---"
"Mingkem nggak lo."
Dia nyengir. "Lagian ya, Kak, yang mas Reza kemarin udah yahud bener, kurang apa siiiii. Yang lo cari apa sih. Duit, batang, terus apa lagi?"
Gue melirik sinis. Tahu-tahuan batang. Kayak punya dia udah mateng aja.
Dia malah nyengir lagi.
"Udah gue kirim. Noh." Gue sodorin layar hape yang memperlihatkan status berhasil pengiriman. "Lagian kita udahan juga dia yang bilang udah bosen."
"Serius?"
Kami duduk di sofa, bahkan si Jamet belum mengganti seragamnya. Dia anak yang asyik diajak ngobrol sebenarnya. Kalau lagi waras. Tapi sering nggak warasnya, jadi males. Kalau nggak duit, nggak ada yang bisa mempersatukan kami.
Kata Ibu sih karena gue yang memulai perang dengan memakan makanannya tanpa izin, hehehe.
"Selo aja. Gue nggak patah hati." Gue mulai bercerita. "Lo taulah main gue gimana. Kalau kami mau, ayok, tapi dengan catatan, saat sebelah udah nggak mau, maka selesai. Nggak jarang kok gue duluan yang udahin." Mulutnya berdecih, keliatan meremehkan. Gue tabok pahanya kencang. "Lo nggak sadar ya selama ini punya kakak yang begitu memegang prinsip hidup dan nggak cengeng?"
"Hiya hiya hiya."
"Alay lo, minggat. Itu slogan apaan siiih."
"Padahal gue udah suka tuh sama mas Reza."
"Lah, emang pernah gue kenalin? Dia aja nggak pernah gue bawa ke rumah."
"Kan pernah ketemu, waktu ulang taun Riana tahun lalu?"
KAMU SEDANG MEMBACA
[ NOVEL ] setelah jadian, memangnya kenapa?
ChickLitkomitmen itu penting. gue ngak tahu juga. tapi, apa komitmen itu harus berada dalam sebuah ikatan resmi? semacam pacaran? pernikahan? like, seriously? yang pacaran bisa putus dengan gampang ketika merasa bosan, tertekan, atau sesimpel nemu yang dia...