"Alasan teross!"
"Bukan alasan. Memang itu kejadiannya, masa Ayah harus karang cerita cuma biar sama kayak asumsi Ibu. Gimana ini jadinya."
"Ya kenapa bisa pas banget gitu lho. Ke klinik kok bisa barengan sama mantan pacar."
"Orang sakit itu nggak dijadwalin, Bu. Tadi Ayah tanya Ibu mau sekalian ikut buat check up, katanya harus ke tempat Bu Rahma. Karena rajutannya ada yang salah."
"Tetangga kita kan banyak, yang sakit kenapa harus bu Fifi."
"Ayah nggak tahuuuuuuu. Demi Allah. Kami di ruang tunggu yang sama, terus ketika dia harus bayar, dia baru sadar nggak bawa dompet karena buru---"
"Dahlah." Ibu mengibaskan tangan, melengos dan langsung jalan ke arah dapur.
Sementara Ayah akhirnya nangkap posisi gue yang lagi berdiri di tangga. Dia mengangkat kedua tangan sambil memasang muka bingung.
Gue ketawa pelan, "Cemburu dan marah adalah passion Ibu. Santai aja."
Ayah ikut ketawa. "Ayah ganteng banget apa ya, Ya? Kok bisa masih cemburuan gitu, buat ke arah sana aja udah nggak kepikiran."
"Dapet obatnya?"
"Dapet. Ohya, kata Mbak Zia, dia katanya Azriel, dan Azriel katanya Riana, kamu lagi naksir seseorang?"
Kalau-kalau aja lo mau tahu darimana bakatnya Biyas buat memperumit sesuatu, salah satu jawabannya adalah yang barusan ini. Tapi tetap, Ibu nyumbang paling banyak.
Gue menuruni sisa anak tangga, mengikuti Ayah yang berjalan ke arah sofa, dan kami memilih sofa yang berbeda.
Jarak membantu lo untuk berbohong.
"Omongan anak kecil dipercaya banget sih, Yah. Naksir versi mereka juga apa artinya."
"Memangnya kalau versi kamu artinya apa?"
Lagi-lagi gue ketawa, "Ada dokter ganteng, aku naksir. Ada kasir ganteng, aku naksir." Termasuk om-nya Azriel. Dan, naksir versi gue ini sebenernya agak mengerikan. Kalau gayung bersambut, kan level naksir bisa naik dan berubah jadi partner. Tapi, nggak mungkin gue jelasin panjang lebar begitu ke Ayah. Makanya, gue buru-buru lempar pertanyaan, "Memangnya versi Ayah kayak apa?"
"Liat Ibumu marah-marah tiap hari aja udah bikin naksir kok. Sama kan simpelnya?" Ayah tersenyum geli, gue jadi ikutan meringis. "Bedanya, Ayah punya satu orang sebagai sumber naksir, kalau kamu ke banyak orang."
"Nanti kalau udah ada satu yang menjanjikan, Miya pasti bawa ke rumah."
Ayah mengangguk. "Ayah nyusul Ibu bentar ya." Menepuk pundak gue pelan sebelum akhirnya pergi.
Gue ngerti banget sih perasaan orang tua. Mungkin, dia merasa gue udah makin besar, tapi udah lama banget nggak kelihatan bawa pacar ke rumah. Karena memang gue nggak tahu harus ngenalin mantan-mantan sebelumnya gimana. Maksudnya, ketika orang pacaran normal pada umumnya, harapan semua orang pasti agar bisa ke jenjang pernikahan, kan?
Beda sama zaman-zaman SMP dan SMA. Masih kecil. Sekarang gue aja udah 21 otewe 22 (tapi kuliah nggak kelar-kelar), mungkin pacaran yang dimau mereka yang beneran serius kali.
Sementara gue belum mau ke arah sana. Dan, nggak tahu sih gue bakalan menikah atau enggak.
Nanti Ayah dan Ibu berharap banyak, eh ternyata gue nggak bisa mewujudkan.
Amysong deh. Bakalan drama banget pasti. Gue nggak suka dan nggak mau.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
[ NOVEL ] setelah jadian, memangnya kenapa?
ChickLitkomitmen itu penting. gue ngak tahu juga. tapi, apa komitmen itu harus berada dalam sebuah ikatan resmi? semacam pacaran? pernikahan? like, seriously? yang pacaran bisa putus dengan gampang ketika merasa bosan, tertekan, atau sesimpel nemu yang dia...