ini tigabelas.

12.3K 2.3K 435
                                    

Dua bulan ini, gue merasa kayak kehidupan lagi berpusat di gue.

Semuanya berjalan amat sangat normal, maksudnya, seperti yang gue mau. Normal adalah segala sesuatu yang sesuai dengan keinginan kita, bukan?

Gitulah.

Tarangga dengan semua usaha yang dia punya. Partner yang sangat kooperatif, manis, sopan dan pemberani.

Kami jalan bareng, dia bantuin gue mulai mempersiapkan skripsi (iya, lo nggak salah baca, gue udah siap mau bertarung biar lulus segera), nonton di rumahnya, di rumah gue, atau sesekali ke bioskop untuk memenuhi keinginan gue yang pengen lihat manusia-manusia lain di sana. Gue masakin dia di rumahnya, dia makan masakan Ibu. Kadang dia juga main game sama Biyas.

Bocah itu menginterogasi gue tentang Tarangga yang nggak mungkin gue jawab.

Well, intinya, sejauh ini, semua masih baik-baik aja.

Yang nggak baik sebenarnya cuma satu, keputusan mbak Zia buat memperkenalkan si bangsat ke Riana sebagai papanya.

"Gila kamu, Mbak. Dia tuh bedebah yang belum tentu udah berubah. Kenapa sih, Riana bahkan baik-baik aja tanpa dia."

Gue pikir dengan kalimat super power itu, gue bisa menunda atau bahkan membatalkan keputusan gila mbak Zia.

Ternyata, jawabannya malah bikin gue nggak bisa berkata-mata karena gue nggak pernah ngalamin itu.

"Riana mungkin haha-hihi di luar sana, Miya. Tapi kita nggak tahu sebenernya apa yang dia rasain kalau lihat teman-temannya bareng orang tua lengkapnya. Mugkin denger Azriel yang selalu cerita tentang papa-mamanya. Kita nggak akan paham itu. Lagipula, Mas Langit bangsatnya ke aku, bukan ke Riana. Aku percaya dia nggak mungkin jahatin Riana."

Itu kalimat panjang kali lebarnya, yang mungkin aja sebenarnya otak gue tambahin kalimatnya, atau kurangin biar nggak drama.

Pusing.

Ketebak dong, gimana happy-nya Riana? Setiap datang ke rumah, yang diceritain adalah gimana baiknya papanya yang selalu datang dan blah blah blah.

Yang ngeselin satu, mukanya si bangsat itu pas ketemu gue, menyeringai seola bilang kalau gue memang bukan siapa-siapa buat ngelawan dia. Pret, bisanya ngancem terus, nggak ada apa-apa yang terjadi juga kan.

Udah berengsek, cemen pula.

Gue benci banget sama dia. Benci sebenci-bencinya. Maksudnya gini lho, lo tuh ganteng enggak, tajir melintir juga enggak, baik boro-boro, terus kenapa lo masih pede aja gitu ngelakuin segala hal ini?

Nggak paham sama jalan pikirannya.

"Kak. Sibuk nggak?"

Suara ketokan pintu dari luar membuyarkan fokus gue yang lagi milah-milah buku referensi dari Tarangga.

"Masuk aja. Nggak dikunci kan?"

Beberapa hari ini, Ibu lagi kena masalh baru kayaknya. Masa, setiap hari, gue diwanti-wanti nggak boleh kunci kamar baik pagi, siang, dan malam. Begitupun dengan Biyas.

Gue tanya kenapa, katanya, lagi musim aneh-aneh, takut kalau gue dan Biyas kenapa-napa, Ibu dan Ayah nggak bisa langsung masuk.

Entahlah, emang aneh.

"Apaan?"

Si Jamet melangkah mendekat dengan kolor hitam yang memperlihatkan lutut kurusnya itu. "Ceilah, makin bijak nan bersahaja banget Anda, sok-sokan baca buku."

"Mau bacot? Di kamar sendiri gih." Gue balik lagi milah-milah buku, sampai gue merasakan dia duduk di sebelah gue, di atas kasur. "Jangan nempel-nempel, Met, alergi gue sama lo."

[ NOVEL ] setelah jadian, memangnya kenapa?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang