ini sembilan.

12.2K 2.2K 218
                                    

"Dia Fauzan. Salah satu kebanggaan kami untuk sesi obrolan bareng narasumber."

Seorang lelaki gondrong baru keluar dari ruangan yang bertuliskan 'private office'. Gue menggeleng cepat karena yang terlintas di otak gue sama sekali bukan hal seharusnya.

"Hai."

Gue buru-buru mengulurkan tangan, "Miya."

"Fauzan. Abis office tour ceritanya?"

Gue ketawa. "Biar menguasai keadaan kalau-kalau pertanyaan mas Fauzan gila-gilaan dalemnya." Padahal gue juga nggak kepikiran buat jadi narasumber.

Kami semua tertawa. Sebelum akhirnya dua orang perempuan dan satu lelaki lagi keluar dari ruangan yang sama dengan mas Fauzan tadi. Mereka semua mengangguk pada Tarangga dengan menyebut 'Mas' dan tersenyum ramah ke gue.

"Makan siang dulu sebelum balik ya, Nis?"

Yang mungkin bernama 'Nis' menjawab, "Iya, Mas. Makasih ya."

"Mas Aga, gue ke sana dulu bentar. Tadi anak lapangan nanyain soal berita kekerasan seksual kemarin."

"Oh okay. Thank you, Fauzan."

Mas Fauzan mengangguk, kemudian ngomong ke gue. "Silakan dilanjutin tour-nya, Miya. Semoga tertarik, gue tinggal sebentar."

"Ohiya, Mas. Semangat!"

Tarangga mengajak gue untuk memasuki ruangan yang bertuliskan 'private office' tadi. Dan, otak mesum gue memang kudu ditampar kadang-kadang. Apa yang lo harapin dari semua ini, yang ada pasti peralatan syuting lah. Sepasang sofa di sudut kanan dengan hiasan meja dan tanaman palsu dalam pot. Ada satu kursi yang mungkin digunakan untuk interview di tengah-tengah ruangan.

"Kita punya dua interviewer andalah dinsini, Miya. Fauzan dan Medina. Tapi Medina lagi izin hari ini. Mereka berdua yang keluar-masuk ruangan ini. Ditemani anak produksi untuk video atau pun gambar untuk keperluan."

Gue mengangguk antusias.

Jadi, kalau-kalau lo bingung gue lagi di mana dan ngapain, gue bantu jelasin sedikit.

Pagi ini, bak millenial produktif, gue datang ke kantornya Tarangga. Katanya, sebagai pengenalan dengan kantornya. Gue nggak masalah dikenalin sama lingkungan atau bahkan keluarga cowok. Yang penting jangan keluarga gue, karena ribet jelasinnya suatu saat.

Tarangga bilang nyewa rumah ini per tahun. Rumahnya lumayan besar, warna dominasi putih dengan aksen cokelat untuk pernak-perniknya.

Ada beberapa sekat ruangan.

Pertama, di sebelah kanan pintu masuk, ada anak produksi. Katanya tadi, isinya lima orang, untuk memotret, merekam video sekaligus editing.

Sementara di sebelah kiri, adalah anak-anak konten. Ada lima juga. Mereka orang-orang dibalik email yang gue terima tiap hari atau pun artikel untuk web.

Sistem kerjanya sih normal katanya. Senin-Jumat. Email tetap ada di weekend yang sudah di-schedule sebelumnya. Sementara mereka akan masuk di hari libur kalau hanya ada sesuatu yang urgent sekali.

Katanya, toh mereka bukan media massa yang harus memberitakan segala hal yang terjadi.

Satu lagi, ada dapur sekaligus pantry yang kelihatan homey sekali.  Tadi perempuan dan lelaki yang habis keluar dari ruangan pergi ke arah sana. Mungkin mengajak narasumber makan siang.

Dan, terakhir, sekarang adalah ruangan pribadi Tarangga.

Ini masalahnya.

Gue berusaha selalu nge-training diri sendiri untuk menjadi berkelas dan bersahaja. Tetapi, kadang kala, sisi norak nggak bisa dihilangkan. Mau tahu norak versi gue gimana?

[ NOVEL ] setelah jadian, memangnya kenapa?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang