"Ayo, Ri! Apalagi sih yang mau dibenerin! Astaga. Kamu takut telat tapi siap-siapnya lama!"
"Kak Miya jangan teriak terus lho! Aku panik susah mikir kan. Ilang semua di kepala aku lho. Ah males."
Gue memutar mata.
Gimana orang nggak panik coba, ini kami belum jalan sama sekali. Gue dari tadi nunggu di bawah, dengan harapan dia bisa ekstra cepat karean semua serba dadakan.
Mbak Zia nelepon pagi-pagi, minta tolong anter Riana karena dia harus ke kantor di jam yang lebih cepat dari biasa dan itu semua juga karena dadakan.
Sekali lagi, dadakan.
Alhasil, Riana kayak orang linglung yang nyari ini-itu nggak ketemu, gue pun sama paniknya. Berakhirlah gue di bawah.
Eh, bukannya cepetan, malah makin lama.
Ya nggak mungkin gue nggak panik. Belum lagi di jalan bakalan berjejalan kendaraan. Kalau telat, nanti dia ngambek dan aneh-aneh deh keluhannya.
Anak tauladan mana boleh telat ke sekolah. Azriel aja udah lelah kalu nih sekarang nungguin dia nyampe.
"Udah. Ayo, Kak Miya. Ngebut ya."
"Ngebut ya? Terbang ke langit, mau?"
Dia cemberut, gue jalan keluar rumah buru-buru. Pokoknya ini kalau sampai telat dan dia nyalahin gue, gue nggak akan segan-segan pelintir mulutnya.
Gue sayang, tapi gue juga bisa jahat.
Nggak tahu apa, pikiran orang lagi kalut banget sama masalah hidup.
Perasaan bersalah itu emang nyekik sih, berengsek.
***
Awalnya gue bukan pecinta kopi.
Bukan dalam artian gue nggak menikmati, tetapi memang nggak pernah minum aja. Sampai akhirnya, gue coba minum dan memang nggak sanggup kalau yang beneran murni kopi doang.
Tapi, gue percaya banget aroma kopi, di kafe, sore-sore, itu bikin mood lo akan lebih baik. Alhasil, andalan minuman gue kalau ke sini adalah latte di mana susunya akan jauh lebih banyak ketimbang kopinya.
Jujur aja, ninggalin cowok memang bukan pertama bagi gue. Perbedaannya, sebelumnya adalah, kami punya hubungan dulu, ketika gue merasa nggak bisa lanjut, maka gue yang memutuskan atau meninggalkan.
Atau, sejak awal, ketika memang gue nggak punya ketertarikan sama sekali, maka mudah aja untuk bilang 'tidak'.
Masalah yang sekarang, tentang Tarangga, adaah ketika di awal, gue tertarik dengan dia, kemudian mencoba karena ternyata dia pun sama. Gue mikirnya semua akan semudah yang sebelumnya. Ternyata, dia punya kecenderungan untuk berhubungan serius.
Biasanya, ketika dia merasa begitu, dia akan bersikap 'normal' seperti cowok kebanyakan. Protektif yang berlebih atau mungkin malah jadi posesif, mengatur, clingy, dan lain-lain yang kesemuanya nggak gue suka.
Payah, ribet, dan bukan gue banget.
Jadi, meghindari semua risiko itu, apakah gue masih salah?
"Hai. Sendirian?"
"Astaga." Gue langsung menggelengkan kepala. "Sama siapa?"
Dia cuma mengendikkan bahu.
"Apa kabar, Reza?"
Dia ketawa pelan. "Baik. Kamu kabarnya gimana, Miya? Udah mulai sadar belum kalau pendidikannya harus segera diselesaikan?" Setelah gue mendengus, dia tertawa pelan. "Biar aku tebak, keliatannya lagi galau banget, kantung mata kayak panda, muka jadi ditekuk, auranya gelap banget."
KAMU SEDANG MEMBACA
[ NOVEL ] setelah jadian, memangnya kenapa?
ChickLitkomitmen itu penting. gue ngak tahu juga. tapi, apa komitmen itu harus berada dalam sebuah ikatan resmi? semacam pacaran? pernikahan? like, seriously? yang pacaran bisa putus dengan gampang ketika merasa bosan, tertekan, atau sesimpel nemu yang dia...