"Menangis ngga selamanya dihubungkan dengan kesedihan, terkadang ada sesuatu yang mengharuskan kita menangis bahagia."
- Clarissa Adreena Zaren -
⭐️⭐️⭐️
Alvaro turun dari tangga dengan menggendong tas ransel dibahu kanannya. Ia berjalan kearah meja makan, dimana disana sudah ada Farah dan Bram. Suara decitan kursi terdengar kala Alvaro memundurkan benda itu lalu mendudukinya.
"Pagi sayang..." sapa Farah, yang merupakan kebiasaannya setiap hari selalu wanita itu lakukan, walaupun hanya dibalas deheman singkat oleh putranya
Hening. Tidak ada pembicaraan diantara mereka, hanya ada suara dentingan sendok yang beradu dengan piring saja. Beginilah suasana sarapan dikeluarga Alvaro setiap harinya. Saling diam satu sama lain, tidak ada pembicaraan, kadang-kadang hanya Farah saja yang berbicara. Jika tidak ada Farah mungkin meja makan ini seperti kuburan.
"Ro, gimana sama sekolah kamu?" tanya Farah basa basi, mengakhiri keheningan diantara mereka.
"Baik." balasnya singkat. Lalu kemali melanjutkan aktivitasnya, makan.
"Awas aja kalo nilai kamu turun. Papah potong uang bulanan kamu." Bram yang sedari tadi bungkam, membuka suara, sekali laki-laki itu bicara pasti selalu menyakiti hati Alvaro. Dia benci itu.
Farah yang sedari tadi memperhatikan keduanya berusaha meredakan ketegangan diantara mereka, "Oh iya, nanti sore temen papah sama mamah yang dari Amerika dateng ke sini, kamu bisa pulang cepet kan?" tanya Farah yang hanya dibalas anggukan singkat oleh Alvaro.
Benar-benar cowok dingin. Bahkan dengan orang tuanya saja dia bersikap seperti ini. Alvaro seperti copypaste-nya Bram, yang sangat irit bicara dan lebih banyak memilih bungkam. Berbeda sekali dengan kakak perempuannya yang kini sedang melanjutkan study-nya di Jerman, yang lebih banyak bicara dan mewarisi sifat mamahnya itu.
"Jangan sampe telat, papah ngga mau nanggung malu." ucap Bram tanpa ekspresi.
Alvaro hanya menatap sinis kearah Bram, lalu mengambil segelas susu dihadapnnya dan meneguknya hingga habis. Detik berikutnya, cowok itu berdiri dan mengambil tas ranselnya di lantai.
"Varo berangkat." ucapnya padat, jelas dan singkat membuat kedua orang tuanya mendongak menatap kepergian Alvaro sampai menghilang dibalik pintu besar.
•••••
Cewek itu berjalan menyusuri koridor sekolah yang bisa dibilang masih cukup sepi, kebiasaan Sasa yang selalu berangkat sangat pagi membuat dirinya bahkan sampai dikenal oleh Pak Dudung, satpam sekolahnya.Pernah dulu, waktu awal-awal masuk SMA, Sasa berangkat sangat pagi sampai-sampai gerbang sekolah masih ditutup. Entahlah, dirinya terlalu bersemangat atau bagaimana. Yang pada akhirnya mau tidak mau harus menunggu didepan sampai gerbang sekolah dibuka, bukan apa-apa tetapi pada saat itu ia sudah mirip seperti anak kucing yang sedang mencari induknya, celingak celinguk kesana kemari tidak jelas. Jika kembali mengingat kejadian yang satu itu, membuatnya seringkali menertawakan dirinya sendiri.
Cewek itu memakai cardigan rajut berwarna biru yang senada dengan warna tas sekolahnya. Biru, warna kesukaanya. Entahlah mengapa Sasa begitu tergila-gila dengan warna yang satu itu, tetapi yang jelas setiap kali ia memakai barang-barang yang berwarna biru selalu membuatnya merasa nyaman.
"SASAAA!"
Teriakan dari seseorang membuat sipemilik nama langsung menoleh, netranya menangkap sesosok cewek dengan balutan jaket jeans yang berjalan kearahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
HEARTBEAT
Teen Fiction[FOLLOW SEBELUM MEMBACA] Namanya Sasa. Bukan bad girl ataupun good girl, hanya cewek cerewet yang setengah gila dan satu-satunya cewek yang berhasil memikat hati Sang Kapten Basket SMA Rajawali. Kedekatannya dengan Sang Most Wanted, membuatnya menja...