Menanti (1) -Menahan Rasa-

5.2K 160 7
                                    

Sorak sorai penonton di tribun terus menggema kala score tuan rumah semakin menjauh dari lawan. Semangat sang tuan rumah semakin membara, mereka semakin bernafsu untuk memasukkan bola ke dalam keranjang. Sementara, tim tamu semakain kalut, konsentrasi mereka seolah telah diacak-acak oleh triakan pendukung tuan rumah, terlebih, sisa waktu tidak banyak.

Kini, pemain bernomor punggung 7 yang menjadi pusat perhatian oleh pemain lawan juga penonton, dengan cepatnya mendrible bola ke arah ring lawan. Ia menatap tajam lawan yang sudah menghadang di depannya. Ada sorot kebencian yang ia tangkap dari mata lawannya ini. Sudah jelas, mereka pasti akan kalah, selain kalah, mereka juga dipermalukan dengan selisih score yang tidak sedikit. Terlebih, mereka bermain di sekolah rival turun temurun mereka, habislah harga diri mereka nanti.

"Christy, kakak kamu kenapa bisa gitu? Keren banget!"

"Ya dong, siapa dulu adeknya! Ayo Kak Chika!" anak yang dipanggil Christy itupun dengan semangat meneriakan nama sang kakak yang tak lain pemain bernomor punggung 7. Dia selalu antusias menonton pertandingan bakset kakaknya. Bahkan, ia beberapa kali menemani Chika bertanding di luar kota. Karena Chika pun akan melakukan hal yang sama saat Christy sedang ada kompetisi dance atau audisi dance.

Di lapangan waktu semakin menipis, Chika yang mendapat umpan dari rekannya, siap untuk menembak. Namun, ada pemain lawan yang berlari ke arah Chika, ia sengaja menubruk tubuh Chika, membuat Chika tersungkur. Bahkan ia sempat-sempatnya menginjak kaki Chika, membuat Chika berteriak kesakitan.

"Kak Chika!" Christy terkejut melihat kakaknya tersungkur cukup keras seperti tadi.

"Woy! Selow dong!" triak rekan Chika. Mereka terpancing emosi. Pasalnya, ini bukan pertama kalinya. Sudah beberapa kali tim lawan bermain kasar seperti itu dan Chika yang menjadi incarannya.

"Fairplay boss. Kalah-kalah aja, nggak usah main culas!"

"Maksud lo apa hah! Takut kalah, sampe main curang kaya gini? Sampah banget lo!" ucap yang lain.

"Santai, mungkin temen gue nggak sengaja tadi,"

"Nggak sengaja bapak kau! Dia nginjek kaki temen gue. Mata lo katarak, hah!"

"Kok lo kasar?!"

"Udah-udah woy! Mending lo urusin temen lo yang main kasar tadi deh. Bri udah, itu Chika juga udah dikasih pertolongan,"

Briel masih terlihat kesal dengan tindakan curang tim lawan tadi. Sekesal-kesalnya Briel waktu bertanding, dia masih punya pikiran jernih, dan tak mungkin menyakiti lawan. Ini memang benar-benar kelewatan. Christy yang tadi di tribun sudah lari turun ke bawah, menyusul Chika yang kini sedang mendapatkan pertologan pertama di pinggir lapangan.

"Chik, gimana?" tanya Briel. Chika menggeleng sambil menahan sakit.

"Ganti gue aja, Bri. Gue kayaknya nggak bisa lanjutin. Sakit banget, nggak bisa gerak ini kaki gue,"

"Mending, dibawa ke rumah sakit aja deh Chik, ngeri retak gue. Badan dia gede soalnya," usul Zee.

"Iya, Kak. Bener kata Kak Zee. Gue juga ngerinya patah kaki lo,"

"Emang nggak ada otak itu anak," Briel masih terlihat sangat kesal.

"Ya udah, kalian balik lagi gih ke lapangan, gue udah ada Christy," mereka mengangguk, kemudian kembali ke lapangan untuk menyelesaikan pertandingan yang tinggal sebentar.

Sementara, Chika sudah di rumah sakit di antar oleh pihak sekolah. Christy juga sudah menghubungi orang tua mereka. Mengabari kejadian yang menimpa Chika. Kini kaki Chika sedang dibalut dengan elastic bandage dan Christy setia menunggui di sampingnya.

Romansa Sang GadisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang