SEMBILAN

5.1K 640 22
                                    

"Mengapa mulai ada tanda tanya yang berputar di dalam kepalaku.

Semua tentang dirimu, aku jadi ingin tahu."

***

*Almer pov*

Tidak ada hari terburuk selain hari ini. Supir pribadiku tidak sengaja menabrak mobil lain. Aku terpaksa ikut dengan Galvin, kebetulan kami searah pulang.

Belum lagi isi pesan Opa yang mengatakan mendadak ingin makan malam di rumah. Duo Opa, seolah mereka ingin memastikan apakah hubunganku dengan Maira baik-baik saja.

Aku mengajak Galvin mampir ke Sakinah Boutique. Tentu saja aku sudah hampir hafal jenis baju yang sering dipakai Maira. Kami seperti pasangan aktris dan aktor hebat yang bisa bertahan, hidup bersama selama hampir satu bulan.

Maira, dia selalu terburu-buru berangkat dengan ojek langganannya. Aku juga tidak berminat menawarinya pergi bersama. Belakangan aku baru tahu kalau yang biasa mengantar Maira adalah anak satpam di tempatnya bekerja.

Aku sendiri tidak terlalu ingin tahu dia bekerja dimana. Info itu juga aku dapat dari Bibik. Driver ojeknya itu lulus SMA 2 tahun lalu, namun masih menganggur.

Catat... namanya adalah Faris. Bukan Farah, apalagi Fatimah. Entah kenapa ada rasa tidak rela, menyelinap di dadaku. Aku tidak mau ada lelaki lain yang mengantar Maira ke tempatnya bekerja.

"Mulai besok, Faris akan bekerja di kantorku. Mungkin dia mulai karir sebagai OB. Tapi kalau kerjaannya bagus, dia akan aku ikutkan kursus komputer. Siapa tahu bisa naik jadi staf Admin."

Kedua mata Maira berbinar seperti habis menang undian berhadiah mobil mewah. Dia tampak terkejut mendengar perkataanku.

"Beneran? Dia pasti seneng banget. Alhamdulillah, nggak nyangka ternyata Pak Almer baik juga. Nggak cuma bisanya marah-marah."

Aku tercengang mendengar pujiannya yang sempat membawaku ke atas langit, namun ujungnya membuatku kembali terhempas ke dasar laut.

"Aku harus cari penggantinya Faris. Tapi, siapa ya? " Maira menggumam sendirian.

"Sudah aku carikan. Namanya Bu Ida, istri dari security di pos depan komplek. Kamu nggak usah berterimakasih sama aku."

Itu adalah kejadian tadi pagi, ketika untuk pertama kalinya kami sarapan bersama. Bukan karena janjian, tapi karena kami sama-sama bangun kesiangan.

Bibi membuat soto Lamongan dengan kuah bumbu koya yang membuat ingin menambah berkali-kali.

"Nggak nyangka ya, badan kurang gizi kayak kamu. Ternyata makannya banyak juga." Jiwaku terpanggil untuk menyindir gadis ini.

"Innal mubadziriina kaanuu ikhwaanasyayaathiiin. Sesungguhnya orang yang mubadzir itu saudaranya syaitan. Al-Isro ayat 27. Bapak belum pernah dengar ya?

Aku waktu masih kecil sering diajak Ibu, mengaji ke surau dekat rumah di desa. Suatu saat nanti, aku akan ajak Bapak kesana. Lihat bagaimana kehidupan orang susah. Nggak ada nasi dan makanan yang dibuang. Karena buat beli beras aja mahal."

Aku terdiam. Ternyata Maira banyak bicara juga. Bahkan dia masih hafal ayat-ayat Al-Qur'an yang terdengar asing di telingaku.

"Kata kamu, kalau makan nggak boleh sambil bicara. Tuh bisa cerewet kayak gitu."

Maira kemudian menutup bibirnya yang mungil dan berwarna merah muda alami. Dia seakan lupa pernah mengatakan hal yang terakhir ini kepadaku, ketika pertama kali kami bertemu.

 SERENADE CINTATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang