"Tu me manques,
Ich vermisse dich,
Asytaaqu ilayki,
I really miss you,
Titip rindu untuk dia..
yang selalu muncul dan terkoneksi memenuhi setiap sinaps otakku."***
*Maira Pov*
Menatap punggung milik Almer yang sedang berdiri di depan bagasi mobil, memunculkan rasa bersalah di sudut hatiku.
Suamiku memasukkan koper seolah ia akan pergi dari rumah dalam waktu lama. Padahal ia bilang hanya dua hari. Ada urusan penting yang harus diselesaikan.
Pagi ini aku berganti pakaian dengan blus berwarna dusty pink, warna yang jarang kupakai, mungkin hanya dalam hitungan jari. Dia suamiku, memuji penampilanku sekilas dan tersenyum tipis saat kami masuk ke dalam mobil.
Aku terkejut ketika kami duduk di dalam mobil dan tiba-tiba saja suamiku menyatukan jemarinya diantara jemariku. Pak Rudi, driver pribadi Almer, ikut tersenyum mendapati pemandangan yang tidak biasa di antara kami.
"Memang harus banget ya, pegangan tangan kayak gini?"
Aku berbisik ke dekat telinga Almer, sambil mencoba melepaskan tangannya. Tapi ia malah semakin kuat berada disana.
"Aku sedang berusaha menciptakan kenangan di antara kita."
Aku terdiam.
"Kenangan?"
"Ya, sesuatu yang akan melekat di dalam memori bawah sadar kita. Kelak ketika kita saling berjauhan, memori itu akan memanggil kita untuk kembali bersama."
"Benarkah bisa seperti itu?"
Aku bertanya seperti orang bodoh. Almer mengelus lembut kepalaku dan memintaku bersandar di bahunya.
"Maaf untuk waktu satu bulan yang telah kita lalui, tapi kita belum melakukan banyak hal berdua."
Kenapa hari ini suamiku jadi lebih melankolis. Tingkah lakunya aneh, seolah kami tidak akan bertemu lagi. Ah tidak, buru-buru aku tepis pikiran buruk itu.
"Kamu mau ikut menemani aku ke airport pagi ini, sebelum ke rumah Opa?" kali ini ia mencium punggung tanganku. Aku merasa risih dan menatap tajam ke arahnya.
Jadi, sebenarnya dari tadi ia memberi kode kalau minta ditemani pergi? Mengapa tidak bilang yang sejujurnya.
"Mmm... Boleh deh. Daripada nggak ada kerjaan juga pagi-pagi di rumahsakit."
Almer tertawa.
"Jawaban macam apa itu. Sudah ngaku aja, kamu pasti penasaran kan, aku mau pergi kemana. Sama siapa."
Lagi-lagi dia menggoda sampai wajahku merona karena malu. Jujur, memang itu yang sempat terlintas di pikiranku.
"Mai..."
"Mmm... "
Tiba-tiba Almer menekan tombol di sebelah tempat duduknya dan mendadak kaca mobil menjadi gelap. Sebuah sekat turun memisahkan kami dengan tempat duduk di depan.
Almer menangkup wajahku dengan kedua tangannya.
"Kamu percaya sama aku, kan?"
Ia seperti mencari sebuah kejujuran di kedua mataku. Baru kali ini aku memperhatikan iris mata Almer juga berwarna coklat mirip denganku.
Aku masih bingung mau menjawab apa.
"Diammu aku anggap iya."
Sedetik kemudian, aku seperti hampir terkena serangan jantung ketika ia menciumku. Otakku mendadak kosong dan berusaha mencari tahu apa yang sedang terjadi.
KAMU SEDANG MEMBACA
SERENADE CINTA
RomanceAlmer merasa dijebak oleh kedua orangtuanya, untuk menikahi seorang gadis bernama Maira. Tidak ada yang menarik dari seorang Maira selain penampilannya yang kuno dan warna hijab yang dipakainya itu-itu saja. Berkisar coklat, biru tua, hitam dan abu...