1

221 11 0
                                    

Hujan makin deras, bapak menepikan motornya. Kami berdua berteduh di bantaran toko yang sudah tutup. Belasan orang berteduh seperti kami, membiarkan motornya di hujankan di bahu jalan.

"Laper gak?," Tanya bapak menepuk pundaku.

"Lumayan pak tapi kan tadi udah makan gorengan jadi gak terlalu laper."

Tiba tiba ada yang menarik bagian belakang jaketku. Terkejut aku saat menoleh ke belakang, ternyata yang menarik tadi adalah seorang kakek tua yang sudah bungkuk. Cekatan bapak memindahkan aku ke belakang tubuhnya.

"Jangan takut cu kakek mah orang baik, kakek mau nyerita sini." Ujar kakek berjanggut putih itu.

Aku makin erat memegang lengan bapak, demi apapun kakek itu sangat menyeramkan. Bapak hanya diam tak mempedulikan ocehan si kakek. Baju  dan kopiah putihnya sudah lusuh, compang camping pula, janggut putihnya terurai sampai dada, membawa tongkat dan keresek hitam, dan kakinya di biarkan tak beralas. Sudah bisa di tebak kakek ini gelandangan.

"Tenang aja pak saya ini bukan orang jahat, anaknya umur berapa sekarang?" Tanya si kakek memandangku sembari tersenyum.

"Tujuh tahun mau delapan" Jawab Bapak lurus.

"Boleh kakek liat tangannya?"

Aku menggelengkan kepala. Bapak makin erat memegang bahuku.

"Gak apa apa cu sini" Ucap si kakek lembut.

Aku terus menggelengkan kepala, namun kakek itu tak berhenti meminta melihat tanganku. Entah apa maksud dan tujuannya. Karena kesal dengan ocehan si kakek, bapak menyodorkan tanganku padanya. Aku kaget bukan main, tanganku gemetar dan keringat dingin mulai terasa di punggungku saat tangan kakek itu menggenggam tangan kananku, lalu dia memejamkan matanya.

"Subhanallah." Ucap si kakek sembari tersenyum ke arahku.

Yang aku rasakan hanya takut dan seakan mau pingsan ketika itu juga. Badanku lemas, dua kaki ini seakan tidak kuat menopang badan.

"Nak kamu akan jadi orang sukses." Ucapnya sambil mengelus rambutku.

Bapaku tersenyum mengamini perkataan si kakek. Setelah melepaskan genggamannya aku kembali ke belakang bapak.

"Masa depan manusia memang gak ada yang tahu, tapi masa depan anak ini kakek sudah tau dia bakal jadi orang besar kakek jamin!" Ucap kakek itu tertawa kecil lalu batuk batuk.

Bapak hanya mengamini lalu menatapku sembari tersenyum. Betapa terkejutnya ketika menoleh ke arah tadi, si kakek sudah hilang di hadapan kami. Aku dan bapak kebingungan mencari si kakek. Kami  celingak celingukan, aneh saja hanya di tinggal menoleh beberapa detik dia sudah hilang tanpa jejak.

Siapa sebenernya kakek tadi? Apa dia Superhero? Hantu? Atau Malaikat?, entahlah kami amat kebingungan hari itu.

Itu kejadian 9 tahun yang lalu, tak tahu kenapa tiba tiba aku ingat kejadian aneh itu. kini umurku sudah mau 16 tahun.

Namaku Adhyaksa Daud Prawira. Aku lahir di Bandung, besar di Bandung, tinggal di Bandung, jatuh cinta di Bandung, patah hati juga di Bandung. Lebih tepatnya di Kabupatennya sih awkwkwok.

Aku dan keluarga tinggal di desa, tapi untungnya desaku tak terlalu pelosok masih bisa di bilang agak kota lah. Aku anak pertama dari 3 bersaudara. Bapaku seorang buruh tani dan buruh ternak di peternakan ayam yang tidak jauh dari rumah, kadang juga bapak jadi kuli bangunan. Ibuku penjual sayuran di pasar, itu pun milik orang lain, kadang juga ibu ikut bapak ke ladang. Jika ada waktu luang aku juga ikut membantu bapak di ladang dan di kandang, atau ikut ibu menjual sayur di pasar.

Ya, keluargaku bukan orang berada, yang setiap hari bisa makan enak dan setiap malam tidur di kasur empuk. Penghasilan bapak dan ibuku tak besar, hanya cukup untuk kebutuhan sehari hari, jauhlah untuk liburan ke luar negeri. Tapi mereka selalu berkata, kalau kita selalu bersyukur dan merasa cukup kita akan terhindar dari kesulitan. Memang benar perkataan mereka meskipun keadaan kami seperti ini, kami selalu merasa cukup dan bahagia. Malah aku sangat bersyukur bisa jadi bagian dari keluarga ini, yang setiap harinya selalu hangat.

Aku baru saja resmi menjadi siswa SMA. Beranjak ke tingkat yang lebih tinggi dan bersiap menghadapi kehidupan yang sebenarnya. Disini juga aku bertemu kawan kawan baru meskipun banyaknya yang aku sudah kenal di smp, maklum lah SMP dan SMAku di daerah yang sama.

Disini juga aku bertemu cinta pandangan pertamaku. Cuihh alay, tapi memang benar baru kali ini aku merasa gugup dan senang secara bersamaan, ketika aku dan gadis yang duduk di bangku paling depan itu saling memandang. Kulitnya putih, matanya besar, hidungnya mancung, dan ada lesung pipi ketika dia tersenyum. Ah sudahlah ini perempuan sempurna.

Namanya Rashya, Rashya Zahira Putri. Aku tahu namanya berkat papan nama dari karton yang di simpan di mejanya.

Tapi sial banyak sekali yang menaksirnya, Galang yang paling menonjol, maklum lah dia wakil ketua osis, anak hits di sekolah pula.

Aku jadi ragu untuk bisa jadi pacarnya, ah jangankan jadi pacar, jadi teman dekatnya saja aku ragu dia mau. Siapa aku? Punya apa aku? Gak pantes lah lu sama dia! Mundur aja lu pantat katel!!! Ucapku dalam hati.

Keraguanku kian bertambah ketika aku tahu Salman sahabatku dari SD sama sama suka gadis itu. Malah dia berani berkenalan langsung dengan Rashya, sialan si kutil anoa!.

Dugaanku salah, aku kira gadis itu orang yang dingin dengan orang lain, tapi ternyata sebaliknya, dia ramah sekali, murah menebar senyumnya yang manis. Menerima ajakan berkenalan dan tak sungkan saling bertukar nomor handphone. Sudahlah dia memang sempurna!.

***

Aa JanjiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang