11

40 4 0
                                    

Jantungku tersentak mendengar suaranya yang sedikit serak. Karena gugup aku langsung akhiri panggilannya. Bodoh aku, padahal dia sudah mau mengangkat, Aksa bodoh.

Aku mencoba meneleponnya lagi, kali ini aku tak boleh gugup.

TUTHHH...

"Hallo... Dengan siapa?"

Aku diam beberapa detik "Ini saya... Eee.. yang kamu lempar pake sepatu" Balasku pelan pelan, aku tak mau salah ucap.

"Oh iya, kirain siapa, malem banget neleponnya, aku nungguin dari tadi hehehe" Ucapnya membuat aku merasa sangat bersalah, harus berkata apa lagi aku?.

"Maaf ya malem pisan saya sibuk hehe"

"Oh iya gapapa nyantai aja kan aku nyuruhnya nelepon malem"

"Ini saya teh ga ganggu?" Tanyaku takut mengganggu istirahatnya.

"Engga nyantai aja" Balasnya menyuruhku santai tapi aku tetap gugup dan merasa bersalah menelepon dia selarut ini.

"Belum tidur?"

"Belumlah makanya bisa ngejawab juga hahaha" Jawabnya membuatku ikut tertawa.

"Iya ya hehehe"

"Eh iya aku belum tau nama kamu, nama kamu siapa sih?" Sekarang dia menanyakan namaku, senang sekali ya Tuhan.

"Adhyaksa, tapi panggil aja Aksa" Jawabku malu malu.

Malam itu aku mengobrol banyak dengannya, cukup banyak tentang dia yang sekarang aku sudah ketahui.
Aku sudah tahu nama lengkapnya 'Dinar Dwiyanti'. Sewaktu SD dia sering di panggil Yanti, tapi dia tak suka di panggil dengan nama itu karena itu nama ibunya. Dia anak ke 2 dari 3 bersaudara, Ayahnya seorang tentara angkatan darat berpangkat kopral kepala, ibunya hanya ibu rumah tangga dan pastinya ibu persit juga.

Baru saja dia akan bercerita tentang SMPnya di Ciamis, pulsaku sudah habis. Uang 15 ribu yang aku berikan ke Iman untuk pulsa, ludes hanya dalam waktu 10 menit, padahal kalau di pakai untuk uang jajan seminggu masih ada sisanya. Tak apa lah semua terbayar dengan rasa bahagiaku malam ini.

Di sisi lain aku juga merasa minder dengan status keluarganya yang bisa di bilang berada dan terpandang. Kalau benar iya aku memacari anak tentara ini, bagaimana tanggapan mereka saat tahu aku ini dari keluarga yang tak punya apa apa?. Lebih menakutkan lagi saat aku mengajak Dinar main, apa aku harus push up dulu? atau harus tiarap dari rumahku ke rumahnya?. Aku juga harus menyiapkan mental baja kalau benar ingin memecari anaknya itu, secara ayahnya adalah tentara yang sudah pasti akan galak padaku.

***

Aku sekarang makin dekat dengan Dinar. Bayang bayang Rashya perlahan menghilang dari otaku, meskipun kami satu kelas dan setiap hari bertemu. Namun, tetap saja kalau melihat dia tersenyum, jantungku berdetak cepat tak karuan. Ah, tapi bagaimana pun aku harus membuang rasa padanya jauh jauh. Sekarang aku sudah punya Dinar.

Jam istirahat aku tak ikut dengan kawan kawan yang lain nongkrong di warung Togar. Hari ini aku akan ke kelas Dinar, aku ingin mengobrol lagi dengannya, kali ini secara langsung. Ke kelas Cecep menjadi modusku untuk bertemu dengan Dinar. Sudah 10 menit aku duduk di koridor kelas ini, tapi Dinar belum juga terlihat. Cecep yang menemaniku duduk di luar, asyik mengisi tts yang di beli dari koperasi sekolah.

"Langsung aja ke kelasnya atuh, dari pada nunggu lama disini," Ucap Cecep sambil mengetuk ngetuk kepalanya dengan pulpen.

"Belum berani euy"

Aa JanjiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang