12

44 4 1
                                    

Libur di restoran aku pakai untuk bekerja di pemandian mobil truk milik tetanggaku, Mang Idan. Satu truk di cuci dua orang, masing masing dapat 10 ribu per truk. Dari sepulang sekolah sampai magrib aku bisa mencuci tiga truk, lumayan aku bisa dapat 30 ribu perhari.

Sudah seminggu aku tak bertemu bapak, malam ini bapak menelpon lewat tetanggaku.

"Assalamualaikum pak, gimana kabarnya?" Ucap Ibu.

"Waalaikumsalam, alhamdulillah sehat bu, yang di rumah gimana kalian pada sehat?"

"Alhamdulillah pak, pada sehat"

"Bapak pulang dua minggu lagi, jangan dulu kangen ya"

"Cepet pulang pak, bawa uang yang banyak Nisa pengen beli tas sama sepatu" Ucap Nisa.

"Iya sayang, nanti bapak beliin"

Kami mengobrol cukup lama, untungnya Bu Minah tetanggaku yang memberi pinjam ponsel membolehkan kami mengobrol dengan bapak sepuas hati. Ibu yang paling lama mengobrol dengan bapak, pasti soal bayar utang pada Haji Dartono. Kami harus bersiap, besok pasti preman preman berbadan kekar akan datang ke rumahku.

Setelah puas mengobrol dengan bapak, kami tidur, bersiap untuk hari esok yang menegangkan. Aku juga harus mengantar ibu ke pasar, dan siangnya aku ke restoran, semangat Aksa!.

Sedari tadi ibu diam, tak mengucapkan sepatah kata pun "Bu, anak buah Dartono bakal ke rumah ya hari ini?" Tanyaku.

Ibu terdengar menghela nafas "Udah ah fokus ke jalanan"

"Tenang aja atuh jalannya juga kosong gini"

"Iya udah fokus aja!" Ucap ibu dengan nada tinggi.

"Jawab dulu bu, anak buah Dartono mau dateng kan?" Tanyaku tak kalah tinggi nadanya.

"Iya" Jawab ibu lirih.

Ibu terdengar menangis "Maafin ibu ya a, gara gara bapak sama ibu, aa juga jadi harus banting tulang"

"Ibu ga boleh ngomong gitu, udah jadi kewajiban aa ngebantu keluarga"

Ibu mencengkram keras jaketku "Tapi tugas aa bukan nyari uang, tugas aa cuma sekolah sama ibadah"

"Aa ngerti bu, tapi ini juga buat keluarga, aa harus ngeringanin beban bapak sama ibu, aa udah gede"

"Maafin ibu ya a, maaf" Ibu makin erat mencengkram jaketku.

Benar saja dugaanku, saat aku dan ibu pulang, preman preman itu sudah menunggu di depan pintu rumah. Kali ini hanya berdua, biasanya bisa empat sampai lima orang.

Preman berkepala pelontos itu melemparkan putung rokok ke arahku "Lama pisan jualan teh sampe siang gini"

"Kalian datengnya kepagian, tunggu dulu" Ucap ibuku langsung masuk ke dalam, aku menyusulnya dari belakang.

Aku langsung ke kamar mengambil uang hasil kerjaku sebulan terakhir, hanya ada 120 ribu, tak apalah yang penting aku bisa ikut menambah.

"300 dulu ya, si bapaknya lagi di Purwakarta" Ucap ibu sambil menydorkan uang.

Preman itu mengambil uang dari ibu dengan kasar "Jangan telat lagi ah, males saya nagih kesininya, apa susahnya tinggal ke rumah pak haji ga jauh ini!"

"Iya ih udah sana ah!" Ibu mengusir mereka. Nyali ibuku memang besar, aku saja masih takut berhadapan dengan mereka, tapi ibu bisa bisanya mengusir dengan cara kasar, untung preman preman itu tak berontak.

Anak buah Dartono tak semuanya kasar pada keluargaku, contohnya sekarang, Mang Borneo dan Mang Jajat. Mereka masih bisa di bilang baik di banding anak buah Dartono yang lain. Tapi mau bagaimana pun, semua ini harus segera berakhir, aku sudah muak dengan preman preman bau alkohol itu.

Aa JanjiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang