8

44 5 0
                                    

Di ujung blok aku melihat seseorang yang sedang duduk di tanah. Berkaos partai warna hijau, memakai kopiah warna merah dan tangannya memegang mangkok. Aku langsung datangi pengemis seumuranku itu.

Aku jongkok di hadapannya. "Woy anak baru kamu ya?!" Tanyaku.

Orang itu memandangku lalu menundukan kepalanya lagi "Iya a baru"

"Dari divisi siapa?" Tanyaku lagi, aku makin penasaran.

"Divisi Mang Jajang a" Jawabnya.

"Ngambil jurusan apa kamu?" Tanyaku lagi.

"Perkereta apian sama pasar a"

"Ya udah jangan macem macem kamu disini ya. Saya ini senior kamu, kamu harus hormat sama saya"

Orang itu menagakan tubuhnya "Siap senior!" Jawabnya tegas.

Baru saja aku berdiri, orang yang tertinggal barangnya ini terlihat di lapak ikan lele. Aku mulai ragu, takutnya saat mengembalikan dia malah marah padaku secara ini barang sensitif. Tapi jika tidak di kembalikan takutnya barang ini sangat penting, bisa saja di rumahnya dia sudah tidak punya wadah anunya lagi. Dengan mantap aku datangi ibu berjaket putih itu.

Aku mulai gemetar, keringat pun mulai terasa di punggungku. "Eee.. Bu maaf ini punya ibu tadi ketinggalan di lapak saya" Ucapku pelan karena gugup. Lalu aku berikan keresek hitam itu.

Ibu itu menatapku heran lalu mengambilnya dari tanganku dan dia buka "Aduh.. a makasih ya, kalo sampe ketinggalan anak saya bisa ngamuk ini, makasih banyak yaa" Ucap ibu itu dan hanya aku balas dengan senyum. Sepertinya ibu itu malu jadi mengelak kalau itu pesanan anaknya, tapi tak tahu juga lah mungkin benar juga untuk anaknya. Lahh... kenapa juga aku harus sibuk memikirkan, tolol kamu Aksa.

Perihal pengemis tadi ternyata dia pengemis baru. Di pasar ini ada tiga divisi pengendali pengemis, yaitu divisi Mang Jajang, divisi Mang Uju setrum, dan divisi Mang Ade cadas. Mereka semua yang mengendalikan pengemis di pasar ini yang ujungnya uang dari pengemis itu mendarat di saku Mang Johan, preman tertinggi di pasar ini.

Pengemis pengemis itu di ambil dari gelandang sekitar pasar atau anak anak kurang mampu yang berkeliaran di pasar. Selain di tempatkan di pasar mereka juga di tempatkan di kereta, stasiun, angkot, alun alun dan terminal. Waktu SD dulu aku pernah menjadi bagian dari mereka, meski hanya sekali. Aku di paksa mengemis di kereta KRD, aku menyusuri gerbong demi gerbong kereta, menyapu sampah yang ada di kolong kursi penumpang lalu menyodorkan tangan ke setiap penumpang.

Rekan kerjaku yang lain lebih parah dari aku, selain mengemis mereka bisa sambil menyomot dompet penumpang tanpa ketahuan orangnya. Miris saja milihatnya, anak seusiaku yang waktu masih SD sudah jadi kriminal, memang tuntutan hidup yang memaksa mereka seperti itu tapi ya mereka masih anak anak, harusnya mereka bersekolah dan bermain sewajarnya bukan seperti ini.

Sadar akan itu aku tak melanjutkan lagi profesi meminta minta. Aku masih punya harga diri lebih baik membantu bapak di ladang. Bodohnya aku dulu mau saja di suruh suruh orang seperti itu hanya karena aku butuh uang.

***

Lampu petromax dan lilin yang tinggal setengahnya itu menerangi kami sekeluarga makan malam kali ini. Maklum lah kami belum bayar listrik, jadi terpaksa listrik ke rumahku di putus. Sudah dua hari kami begini, tapi ya mau bagaimana lagi.

"Yang sabar ya gelap gelapan dulu, nanti lusa ibu bayar tagihan listriknya, yang sabar ya" Ucap ibu sembari mengalasi nasi untuk bapak.

"Iya bu gapapa kan ini masih ada lampu petromax sama lilin" Balasku sambil tersenyum.

"Iya ga papa bu malah enak gini atuh tidur teh gelap gelapan ya" Bapak menggoda ibu lalu mengedip ngedipkan mata sebelah kanannya.

Menu dinner kali ini nasi dengan tempe goreng, ikan asin, dan sambel dadakan. Meski menunya begini,tapi aku merasakan nikmat yang luar biasa. Bagaimana tidak, aku bisa makan bersama dengan semua anggota keluarga dan selalu ada saja yang membuat kami tertawa. Suasana seperti inilah yang membuat aku betah di rumah.

Setelah makan aku dan kedua adiku mengerjakan PR sekolah, di bantu cahaya lampu petromax berwarna oranye.

Suara nyaring jangkrik membuatku makin bersemangat mengerjakan PR biologi yang membuatku naik darah ini. Bagaimana tidak, aku harus mencatat 5 BAB sekaligus padahal 2 BAB lagi belum di bahas sedikit pun. Parahnya hanya di beri waktu dua hari, dan yang lebih parahnya lagi hanya aku yang dapat tugas ini.

Mungkin ini hukuman karena aku bertanya "Bu, kan pohon teh makhluk hidup kan ya, nah kalau saya tebang atau saya cabut daunnya dia bakal ngerasa sakit ga bu?" Kalian tahu jawaban beliau? Begini jawabannya "Kamu mau main main sama pelajaran ibu hah? kalau mau main main silahkan keluar pintu sebelah sana!" Jawaban beliau membuat aku bingung, apa aku salah bicara atau apa? Aku hanya penasaran dengan itu demi apapun aku tak berniat bercanda.

Setelah aku di keluarkan dari kelas aku langsung di beri tugas itu, kalau tak mengerjakan tugasnya atau ada yang aku lewat, raport semester 1 untuk mata pelajaran biologi nilainya 0.

Awalnya aku biasa saja hanya menganggap ini sebagai gertakan. Tapi saat kakak kelasku menceritakan  kalau beliau tak pernah main main dengan ancamannya, aku mulai ciut.

Cerita Cecep kakak kelasku dia dulu di hukum mencatat sepertiku tapi dia mengabaikannya, dan akhirnya di raport semester 1 mata pelajaran biologinya 0. Karena cerita Cecep itu aku jadi percaya dan aku akan mengerjakan sampai beres tanpa materi yang aku lewat.

Tapi sampai saat ini aku masih tak tahu jawaban dari pertanyaanku itu. Apa pohon kesakitan saat di tebang dengan gergaji? Apa pohon kesakitan saat tubuhnya itu di tancap paku baligo caleg? Atau tumbuhan yang lain kesakitan saat aku memetik buahnya? Ah entahlah.

***

Tak terasa sudah dua bulan aku ada di bangku SMA. Sudah dua bulan aku pakai seragam putih abu yang membuatku makin keren ini. Tak sabar ingin segera lulus dan menepati janjiku.

Bicara tentang janji aku jadi ingat Salman. Aku sudah berjanji di pusarannya untuk tak mengejar Rashya lagi. Semakin aku mengejarnya, semakin aku ingat Salman. Aku sudah berjanji padanya, aku tak mau dia kecewa denganku. Maka dari itu, mulai hari ini aku akan melepaskan harapanku pada Rashya. Aku tak akan mengejarnya lagi, demi sahabatku Salman Wiguna.

Bel pergantian jam pelajaran sudah berbunyi. Karena guru fisika tak akan hadir ke kelas dan hanya memberi tugas aku dan beberapa teman meluncur ke kantin. Seperti biasa aku hanya akan menonton mereka makan, maklum lah berhemat. Bukan mauku juga aku harus begini, aku tak enak meminta uang bekal sekolah ke ibu atau bapak. Sedari SD sampai sekarang aku SMA jarang sekali aku meminta uang bekal, bukan bapak atau ibu tak memberi tapi akunya saja yang tak tega memintanya. Jadi supaya aku bisa dapat uang bekal sekolah ya aku harus menunggu upah dari pekerjaanku.

Setelah kenyang menonton kawan kawanku makan gorengan yang renyah itu, kami kembali ke kelas. Menyusuri koridor kelas 10 jurusan IPS yang tersorot sinar matahari yang hangat. Tiba tiba......

BUGGGHH!!!

Wajah sebelah kiriku di hujam sepatu dengan keras. Ketika itu juga kepalaku pusing dan pandanganku jadi buram, aku juga tak bisa berdiri tegak, untung ada teman temanku yang menahan.

"Aduh maaf banget maaf ga sengaja maaf ya maaf" Ucap seseorang didepanku. Seketika pandanganku kembali jelas saat gadis berbaju olahraga itu tepat di depanku.

Cantik sekali gadis ini, siapa dia?

Aa JanjiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang