20

42 4 0
                                    

Kenapa bisa ada Dinar disitu? Bukannya dia sedang di Jember?. Aku yakin seyakin yakinnya kalau itu Dinar, dan siapa lelaki yang menemaninya itu?

Dia duduk di meja luar, otomatis terlihat olehku. Dadaku sangat sesak, pikiranku kacau tak karuan, dan kerongkonganku rasanya sangat kering.

"Bukannya lagi mudik dia teh?" Tanya Miftah yang terkejut juga.

"Udah kamu mah pesen dulu aja sana bentar lagi adzan!"

Aku tak langsung menghubunginya, aku ingin menonton dulu, dan memastikan kalau itu benar-benar Dinar.

Sudah kesal menonton, aku coba menelponnya. Benar saja dari sini aku lihat dia mengecek ponselnya, dan dibiarkan begitu saja. Aku coba lagi, dan begitu lagi. Ini yang terakhir, aku coba memastikan lagi, dan tetap seperti itu.

Aku coba mengirimnya pesan. 47 menit yang lalu aku terakhir mengirimnya pesan.

Aksa: Disana udah adzan?

Dinar: Jangan telpon malu banyak orang.

Dinar: Belum Aksa, bentar lagi

Aksa: Sekarang lagi dimana?

Dinar: Di rumah mbah, lagi siap-siap mau buka sama keluarga besar

Aksa: Oh gitu ya, coba nengok ke kiri

Dia terkejut bukan main saat menengok ke arah seberang. Seperti tidak menyangka kalau disana ada aku yang menontonnya. Aku melambaikan tangan ke arahnya dengan senyum yang di paksa. Dengan terburu-buru dia datang menghampiri aku.

"Eh kenapa kesini? Kan lagi mau buka sama keluarga besar" Ucapku sembari tertawa kecil.

"Aksa maaf, aku bisa jelasin Aksa" Lirihnya.

"Udah ih sana, itu kasian liat keluarga kamu nunggu" Aku menunjuk ke arah lelaki yang dengannya tadi. Dia memperhatikan kami di luar caffe, menyandar di bagian belakang mobil yang sepertinya itu mobil punyanya.

"Aku bisa jelasin Aksa" Air matanya perlahan keluar, wajahnya juga mulai memerah.

Aku seka air matanya dengan tanganku "Udah jangan nangis malu diliatin orang ih" Aku berusaha menghentikan tangisnya dengan tersenyum seakan aku baik-baik saja.

"Aksa...." Lirihnya lagi seketika membuatku merasa bersalah.

"Udah ih jangan nangis," Ucapku tersenyum ke arahnya.

Miftah keluar dari dalam warteg dengan kantung keresek besar.

"Tuh si Miftah dah keluar, aku pulang ya, udah atuh jangan nangis malu" Aku menyeka air matanya lagi.

"Dengerin dulu Aksa!"

Miftah menyalakan motornya "Iya nanti, saya duluan ya" Aku meninggalkannya sembari melemparkan senyum manis.

Demi apapun aku tak menyangka dia berbohong padaku, mudik ke Jember apanya?. Meskipun aku bukan siapa-siapanya, tetap saja di bohongi orang yang aku percaya dan aku suka itu sakitnya luar biasa.

Kenapa juga dia mesti berbohong kalau dia sedang mudik? Kenapa harus seperti itu?. Apa karena aku yang selalu mengajaknya untuk buka bersama dan dia risih dengan itu?. Kalau memang itu alasannya, kenapa dengan lelaki itu dia mau sedangkan dengan aku tidak?.

Sudahlah, seharusnya aku sadar diri, kalau aku ini bukan siapa-siapanya. Aku tak punya apa-apa dan penampilanku juga kampungan, wajar saja dia tak mau. Harusnya aku sadar akan itu.

Aku penasaran dengan lelaki yang bersamanya tadi. Itu bukan Bagas, aku sudah tahu betul tampangnya. Lelaki itu tampak asing, di sekolah juga aku belum pernah melihatnya. Sepertinya dia sekolah di SMA yang berbeda denganku.

Aa JanjiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang