2

113 4 0
                                    

Mengikuti berjalannya waktu, aku dan Rashya kenal begitu saja. Tanpa berkenalan atau basa basi ala orang Indonesia.

Aku juga makin tahu banyak tentang dirinya, meskipun tahu dari perantara Cici, chairmate Rashya. Ayah dan ibunya bekerja di perusahaan besar di Bandung, mereka petinggi di perusahaan itu, dia suka warna hijau tosca dan setiap hari Minggu pagi dia selalu menonton Doraemon.

Bel istirahat berbunyi dengan lantang. Orang orang di kelas perlahan keluar untuk mengisi hak perut. Aku tak ikut dengan kawan kawan yang lain nongkrong di warung Togar, karena tugas biologiku belum aku kerjakan sedikitpun. Aku tidak mau kena semprot guru biologi yang cerewet ini.

"Gelangnya bagus, pengen dong," Ucap seseorang di sisi mejaku. Detak jantungku tiba tiba tak karuan ketika aku melihat siapa yang berbicara. Rashya ternyata, dia menunjuk gelangku.

"Eh jangan yang ini, ini mah keramat gabisa sembarang orang pake apalagi orang yang kaya kamu" Jawabku menolak pintanya.

"Emang aku kenapa?," tanyanya polos yang membuat wajahnya kian manis.

Aku terdiam sejenak "Kamu cantik Ra" Gumamku dalam hati. "Ya.. ya gaboleh aja pokonya mah ini mah gelang khusus yang boleh pakenya cuma orang yang lahir hari Senin." ucapku asal

"Aku lahir hari Senin kok"

Aku hanya diam, menyesali ucapanku yang bodoh itu. "Eeeu.. iya tanggal 7 tapi" Aku berbicara asal lagi.

"Iya aku lahir tanggal 7 kok." Jawabnya lagi membuatku aku makin bodoh dengan ucapanku yang asal asalan itu.

Tiba tiba dia duduk di kursi sebelahku yang kosong. Seperti lirik lagu Sheila on 7, jantungku berdegup cepat kaki bergetar hebat, saat dia benar benar duduk di sebelahku. Lalu mengeluarkan gelang coklat ini dari lenganku. Aku hanya terbelalak, diam terpaku melihat tangan mulusnya memegang tangan kasarku ini.

Dia terus terusan mengoceh tentang gelangku yang sekarang ada di tangan kirinya, berdampingan dengan jam berwarna hitam.

Aku tak terlalu memperhatikan saat dia bicara, malah aku tak tahu dia bicara apa. Aku tak bisa fokus, yang aku bisa lakukan hanya menelan ludah, seakan tak percaya dengan apa yang Rashya lakukan tadi.

"Ya kan, woy Sa woy! Kenapa?" Sentaknya menyadarkanku dari lamunan.

"I--Iya bagus bener." Kataku asal menjawab karena tak tahu apa yang dia bicarakan.

Tapi seketika aku sadar "Eh apa jangan di ambil itu mah bukan gelang biasa woy jangan!." Aku baru sadar kalau dia meminta mengambil alih kepemilikan gelang ini, tapi aku menolak keras karena itu gelang kesayangan. Aku berusaha merebutnya kembali tapi dia malah menyembunyikan tangannya.

"Pelit amat sih, aku pinjem seminggu aja ya minggu depan di kembaliin lagi oke" Ujarnya sembari mengacungkan jempol dan tersenyum menunjukkan giginya yang putih rapi, lalu dia meninggalkan bangkuku menuju keluar kelas.

Kini gelang kesayanganku sudah di ambil alih. Untungnya yang mengambil orang yang aku suka, jadi ada alasan untuk mengobrol lagi dengannya.

Dengan begini juga, Rashya makin meyakinkan aku kalau dia bukan gadis jutek yang sombong, malah sebaliknya.

Senang rasanya bisa mengobrol langsung berdua dengannya, meskipun aku tak tahu tadi dia membicarakan apa. Semoga dia terus seperti ini ya Gustav.

***

Sore ini cuaca sangat bagus cerah sekali. Langit penuh layang layang saling beradu, benangnya saling bergesekan di atas sana. Terbang kesana kemari sampai salah satu layangan benangnya putus, terombang ambing menuju tanah lalu di rebut banyak anak anak.

Senang rasanya jika bisa kembali ke masa kecil dulu, tak usah membantu bapak mencangkul di ladang seperti sekarang. Aku rasa lebih baik dapat luka di lutut karena jatuh saat mengejar layangan yang putus dari pada dapat luka di hati saat si pacar mengajak putus, eh bukan, maksudku luka karena kapalan di telapak tangan efek mencangkul. Aneh saja sih tanganku selalu kapalan gara gara mencangkul, padahal ini bukan sekali dua kali aku mencangkul, sudah dari SD aku main dengan benda ini.

Tapi bagaimana pun aku harus ikhlas, ini demi bapak, aku ingin meringankan pekerjaannya. Rasanya seperti diiris iris hatiku saat melihat bapak atau ibu bekerja di ladang, apalagi jika sudah melihat mereka menghela nafas sambil menyeka keringatnya, rasanya ingin menangis.

Aku masih ingat saat panen padi tahun lalu, saat itu aku masih SMP. Aku membantu bapak dan ibu memanen padi, kami tidak bertiga, kami di temani buruh tani yang lain, kebanyakan ibu ibu yang sudah lanjut usia, tapi soal kekuatan fisiknya tidak bisa diragukan.

Kami bersemangat sekali hari itu, padahal ini masih pagi buta langit pun masih kebiruan. "Ini panen pertama kita harus semangat." Kata ibuku. Kami lalu bekerja dengan penuh semangat. Sesekali kami tertawa karena ada saja bahan tertawaan di saat seperti ini , di tambah ada bapaku yang jago melawak, dengan begini pekerjaan terasa ringan.

Sampai di tengah hari, tenagaku mulai berkurang. Gerakanku tak secekatan pagi tadi, begitu pun yang lain, termasuk bapak dan ibu. Matahari membakar tubuh kita, hanya topi khas petani sebagai pelindungnya. Aku duduk di tumpukan jerami mengistirahatkan sebentar tubuhku yang lesu.

Dari kejauhan bapak dan ibu tampak lelah, menyeka keringat di wajahnya. Sesekali mereka meluruskan badannya dan melemaskan tangan yang pegal. Sakit hatiku melihatnya, mataku mulai berair, dan entah apa yang merasuki aku waktu itu.

Aku berdiri di atas tumpukan jerami yang menggunung itu, lalu aku berteriak.

Aa JanjiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang