4

75 6 0
                                    

Warung tongkronganku sepi sekali hari ini, hanya ada teman teman kelasku. Tapi syukur lah dengan begini aku bisa merokok dengan tenang. Ya aku perokok aktif dari SMP. Malah dari SD aku sudah sering merokok dengan sembunyi sembunyi karena takut di gampar Bapak.

Sekarang pun sebenarnya aku masih belum di beri izin merokok. Kata bapak, mau jadi apa kalau masih sekolah sudah berani merokok?. Padahal aku sudah punya penghasilan sendiri dan dilingkunganku juga semua perokok termasuk bapak.

Di sekolahku ini jam istirahat seluruh siswa di perbolehkan keluar dari gerbang sekolah, tapi tanpa membawa kendaraan keluar dari parkiran.

Salman berjalan ke arahku. "Sa, bantuin saya ya"

"Bantuin apaan?"

Dia lalu medekatkan bibirnya ke telingaku. "TONG!!!!"

"Anjing bangsat!!!!" Aku langsung menggeplak kepalanya. Telingaku mendengung sakitnya bukan main, teman teman yang lain hanya menertawaiku.

"Gak lucu anjing ah" Ucapku kesal.

"Alah siah boy berdarah, telepon rumah sakit!!!" Ucap Galih sembari memasang wajah terkejut. Aku langsung memegang telinga, mengusapnya lalu mengecek jari jariku.

"Bakekokk" Teriak salah satu temanku. Sialan aku di tipu lagi, mereka menertawaiku puas sekali. Ya begini lah kawan kawanku tolol semua.

Salman memegang pundaku. "Serius sekarang mah asli" wajahnya kini lebih serius. "Bantuin saya ya, saya mau nembak Rashya" Suara pelan itu seketika membuat dadaku sesak. Dia terus berbicara tentang pendekatannya selama ini, aku tak sanggup mendengar ucapan dia, aku hanya diam berusaha mendengarkan Salman tapi tidak bisa.

"Jadi gitu oke, ya bantuin ya, ini mah coba coba aja lah siapa tau mau sama saya" Ucapnya seperti tidak yakin dan tidak serius.

"Goblok kamu Man, kalo cuma coba coba mending jangan sekalian." Ucapku kesal dalam hati.

Bibirku kaku sekali, aku tak mau mengiyakan pinta Salman. Aku juga sama dengan dia, berusaha dapat hatinya Rashya.

"I--iya Man" Balasku refkek entahlah sebenarnya aku tak mau mengiyakan.

"Yes, kamu teh memang sahabat sejati saya" Dia menepuk nepuk pundaku. Aku hanya tersenyum hambar.

Di kelas Salman terlihat bahagia, sesekali melihat ke bangku depan, yang tak lain bangku Rashya. Aku yang melihat ini hanya bisa menahan rasa kesal. Tapi bagaimana juga dia sahabatku dari SD, dari bocah sampai sekarang kita terus bersahabat dan dia sudah banyak membantuku. Aku tak mau persahabatan ini rusak karena berebut satu orang perempuan.

Tapi di sisi lain aku juga tak mau merelakan Rashya jadi pacar Salman. Meskipun sangat sangat sangat sedikit kesempatanku jadi pacarnya, namun aku punya mimpi yang sangat sangat sangat banyak dengan dia.

Ternyata begini rasanya berebut perempuan dengan sahabat sendiri, berat dan sakit. Jika di pikir pikir lagi lebih baik Rashya pacaran saja dengan orang lain dari pada dengan Salman.

"Aksa, Sa..." Sahut Salman dari bangku sebelah.

"Apa?"

"Yang tadi di warung gajadi" Sontak aku merasa senang karena dia tak akan jadi nembak Rashya.

Aku pura pura tak mengerti. "Ga jadi apaan?"

Senyum Salman kian lebar. "Ga jadi minta bantuan kamu" Salman memelankan suaranya "Saya mau nembak dia sendiri ga usah di temenin."

JLEB!!!

Aku yang sudah terbang tinggi tiba tiba di jatuhkan ke tanah dengan kencang. Sialan Salman!. Aku kira dia tak jadi nembak ternyata tak jadi butuh bantuanku. Salman, PUCEKKK!!!.

Aku cuma mengangguk, lalu melanjutkan tugasku dengan hati yang kesal. Yang aku ingin sekarang lakukan hanya memukul hidungnya yang pesek itu.

"Kenapa sa?" Tanya Miftah teman sebangkuku.

"Kenapa apa?" Aku tanya balik.

"Kamu kesel kenapa?  liat itu tulisan sampe gitu" Dia menunjuk ke buku catatanku.

Kaget juga saat aku sadar ternyata tulisanku sudah tak jelas, melebihi tulisan dokter manapun. Sampai sampai aku juga tak tahu menulis apa.

"Ah engga ga papa sengaja weh ini mah biar ga di contek" Jawabku mengelak.

"Lah ngapain juga nyontek ke kamu, kan ini ada buku paketnya tinggal nyalin, yang lain juga pada punya" Dia makin heran dengan jawabanku yang bodoh itu.

"Ah ya pokonya mah biar ga di contek aja atuh lah ni urus aja catetan kamu, tuh liat tulisan kamu juga jelek, efek terlalu banyak makan seblak ceker ini mah jadi gitu." Jawabku meyindir ibunya yang penjual seblak ceker.

"Ah terserah lieur ngobrol sama kuli mah." Dia mengejeku sambil tertawa kecil, niat dia itu membalasku.

"Koplok siah." Aku juga tak bisa menahan tawa, ternyata dia sudah tahu bapaku seorang kuli.

Entahlah meskipun aku punya bapak yang seorang kuli, rasanya bangga punya ayah seperti bapak. Orang yang pekerja keras dan rela berkorban demi keluarga.

Baginya tak ada waktu untuk leha leha, santai santai, itu tak ada di daftar kegiatan hariannya. Yang ada hanya kerja, kerja, dan kerja banting tulang untuk keluarga.

Subuh sampai dzuhur bapak ke sawah atau ke kebun, sesudah dzuhur sampai ashar bapak ke kandang, dari ashar sampai magrib bapak ke kebun lagi, sambil mencari rumput untuk kambing, magrib sampai isha itu waktu isoma bapak.

Kadang kalau ada  pesanan membuat lemari atau sekedar membetulkan, dari sesudah solat isya sampai tengah malam bapak kerjakan. Kami sekeluarga sudah kebal dengan suara palu, mesin gergaji, dan lainnya, Untung saja rumah tetangga tak terlalu berdekatan.

Ya tapi ada saja lah tetangga yang menegur, wajar saja mereka juga punya hak untuk istirahat dengan tenang, dan bapak memang salah. Tapi Bapaku batu, dia tak mau memperdulikan, dia terus saja meneruskan pekerjaan malamnya itu.

***

Aa JanjiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang