6

53 5 0
                                    

Kami semua terkejut begitu pula Pak Aep. Ya bagaimana tidak, Bu Ida datang ke kelas tiba tiba tanpa mengucap salam dan datang dengan wajah panik.

"Mana Salman?!" Tanya Bu Ida di pintu.

"Belum dateng bu" Jawab salah satu temanku.

"Astagfirullah ya Allah Salman...." Beliau menutup mata dengan tangannya dan terdengar menangis.

Kami juga ikut panik, kenapa Salman? Ada apa ini sebenarnya?. Pak Aep langsung menghampiri, "Salman kenapa bu? Ada apa?"  Tanya Pak Aep cemas.

"Ada yang kecelakaan di depan SPBU, pake motor yang buat balap liar gitu warna ijo, itu motor si Salman kan?" Ucapannya itu membuat kami semua yang mendengar kaget, tak terkecuali aku.

Pak Aep juga sama terkejutnya, matanya terbelalak, "Terus gimana kondisinya sekarang?"

Tangis Bu Ida makin keras, "Meninggal di tempat pak meninggal!"

Mendengar jawaban itu kami semua terkejut tak terkecuali aku, badanku lemas seketika dan perlahan air mataku turun. Aku tak bisa apa apa, aku hanya bisa diam membiarkan air mataku jatuh.

Keadaan kelas berubah jadi haru, Semua yang ada di kelas menangis. Ada yang menangis karena benar benar sedih ada juga hanya terbawa susana. Pikirkanku kacau sekali aku ingin menemui Salman sekarang juga aku ingin lihat dia. Aku memohon pada wali kelas untuk mengizinkan aku ikut ke rumah sakit, ya Salman sekarang ada di rumah sakit yang tak jauh dari sekolah, untunglah aku di izinkan ikut.

Sesampainya disana aku makin tak bisa menahan tangis. Apalagi saat melihat orang tuanya yang histeris melihat anaknya sekarang ada di kamar jenazah. Aku memeluk ayah Salman berusaha menegarkannya meskipun aku juga sama hancurnya. Aku dan keluarganya memang sudah dekat dari dulu, malah aku sudah dianggap anak mereka.

Ayahnya menceritakan kronologi kecelakaan ini. Menurut keterangan polisi dan saksi, Salman kecelakaan tunggal. Salman membawa motornya dengan kecepatan tinggi lalu hilang kendali dan terpental, kepalanya yang tidak menggunakan helm itu membentur trotoar dan ya dia langsung meninggal di tempat.

Mendengarnya saja aku sampai menangis apalagi kalau aku melihat langsung. Dari cerita ayahnya ini juga aku antara sedih dan kesal. Kenapa dia mesti kebut kebutan? Apa tak bisa membawa motornya dengan kecepatan normal? Apa karena takut terlambat masuk sekolah jadi dia kebut kebutan? Kalau karena itu kenapa dia tak datang lebih pagi?!. Terus kenapa dia tak pakai helm? Kenapa kebiasaan buruknya ini terus dia lakukan? Apa karena kepalanya jadi gatal karena pakai helm? Atau takut rambutnya yang kelimis itu rusak? Atau karena pagi itu tidak ada pakpol jadi dia tak perlu pakai helm karena tak akan ada yang menilang? Salman tolol!!! Helm itu buat pelindung kepalamu Man...!!. Kalau dia tak kebut kebutan dan pakai helm mungkin kejadian ini tak akan terjadi.

Sekarang aku ada di sisinya, sampai sekarang aku masih belum percaya keranda berbalut kain hijau itu berisi sahabatku dari kecil. Air mataku masih terus mengalir, berusaha tegar tapi tak bisa. Ambulans dengan sirinenya yang lantang ini melesat membawa kami ke rumah duka.

Setelah di solatkan jenazah Salman di bawa menuju makam. Aku ikut memangku keranda dia di bagian belakang. Orang orang yang mengantar menuju makam banyak sekali. Keluarga, tetangga, dan teman teman dari sekolah juga ikut mengantar Salman menuju peristirahatannya.

Dari atas sini aku melihat dia di adzankan. Aku masih belum bisa percaya yang di bungkus kain putih itu dia Salman Wiguna, Sahabatku. Baru saja kemarin dia main playstation denganku dan dia aku kalahkan, dia juga mengantarku pulang ke rumah lalu melambaikan tangan dan sekarang dia sudah di bungkus kafan siap untuk di kubur. Ya Allah kenapa harus begini ya Allah.

Kenangan aku dengannya satu persatu mulai muncul di kepala seraya tanah cokelat itu mulai menimbun seluruh tubuhnya sedikit demi sedikit. Tangisku pecah lagi saat aku ikut menimbunnya dengan tanah.

Ibu Salman memeluku erat sekali dia berterima kasih untuk bantuannya dan berterima kasih sudah mau jadi sahabat anaknya itu sedari dulu. Satu persatu orang orang yang mengantar Salman pergi begitu juga keluarganya. Sekarang hanya ada aku, Miftah, Galih, Ridwan, Asep, Cici dan Rashya.

Aku juga ingat lagi waktu kemarin dia meminta maaf kepadaku kalau dia punya salah, ternyata itu adalah pertanda. Man, Allah kasih surga buatmu Man.

"Man maafin aku ya Man dah nyakitin hati kamu maaf Man maaf" Ucap Rashya tersedu sedu.

"Udah Ra udah" Cici yang di sampingnya mengelus pundak Rashya.

Rashya sepertinya sangat merasa bersalah sudah membuat Salman sakit hati karena penolakannya. Entah apa yang Rashya katakan sampai dia merasa bersalah seperti ini. Dari awal mendengar kabar ini sampai sekarang di makam dia terus menangis sampai matanya terlihat sembab.

Dalam hati aku memberi tahu Salman semuanya perihal aku yang juga berjuang dapat hatinya Rashya, entah dia bisa medengarnya atau tidak yang penting aku sudah memberi tahu semuanya. Mulai hari ini aku menghentikan semuanya aku tak akan mengejar Rashya lagi, demi Salman. Terserah dia mau pacaran dengan siapa juga asal bukan denganku. Ucap hatiku sambil melihat Rashya yang masih belum berhenti menangis.

Setelah mendengar adzan ashar kami meninggalkan makam Salman dengan hati yang berat. Selamat jalan sahabat, istirahat dengan tenang disana, Surga untukmu Salman Wiguna.

***

Aa JanjiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang