19

42 4 0
                                    

Sepulang main sepak bola aku dapat pesan dari Dinar.

Dinar: Aksa, maaf banget ya kayanya kita gabisa buka bareng. Besok aku mau mudik ke Jember, di sana aku 2 minggu. Jadi ga akan ada waktu buat kita buka bareng. Maaf ya Aksa.

Aksa: Iya Dinar gapapa, lain kali aja. Salam ke keluarga disana ya dari Bandung :D

Dinar: Iya Aksa, aku salamin. Tapi gapapa kan? Aku jadi ga enak sama kamu.

Aksa: Ya gapapa atuh, da sekarang juga saya mau bukber sama temen-temen kelas.

Dinar: Oke deh, sekali lagi maaf ya.

Pupus sudah harapanku buka bersama dengannya. Padahal aku sangat mengharapkannya, ada hal yang sangat harus aku katakan. Tapi ya sudahlah, lain kali saja.

Yang membuatku dongkol adalah saat aku sudah siap menghadapi bapaknya itu, ada saja alasan darinya. Tak enak badan lah, tak boleh keluar malam lah, tak punya uang lah, ini lah itu lah arrrghhh dah lah.

Sebelum ke rumah Wulan aku ke pencucian dulu. Semoga saja ada 1 atau 2 truk yang bisa aku cuci, lumayan uangnya bisa untuk patungan nanti.

Sudah 3 jam aku diam di sini belum ada 1 truk pun yang datang. Aku hanya menonton orang-orang yang tak berpuasa, minum kopi dan menyesap rokok di depan hidungku, dasar setan.

"Kaya yang lemes gitu" Gober membuka percakapan lagi yang sedari tadi terhenti.

"Hooh, pengen cepet-cepet buka" Balasku.

"Ya udah atuh buka aja sekarang yu!"

"Iya hayu di warteg sebelah yu, yang di tutupin gorden terus ada kaki yang ngelayang dibawahnya" Balasku.

"Hahaha anying ah lapar aing mah" Ucapnya lalu pergi ke warteg sebelah. Tak ada akhlak makhluk ini.

Akhirnya pekerjaan datang juga, tapi bukan mencuci truk. Mang Idan menyuruhku mengambil beras di penggiling Haji Bakti yang paling terkenal di daerahku.

Aku mengambil dengan mobil bak terbuka yang sudah butut punyanya. Was-was aku pakai mobil ini, karena mobil ini sering mogok di tengah jalan, dan sekarang aku membawa mobil ini hanya sendiri.

Dengan kecepatan rendah aku pacu si tua ini. Aku tak mau mengambil resiko, bisa saja di di tengah jalan tiba-tiba mogok atau bannya copot. Kerja mesin yang yang sudah repot membuat seluruh tubuhku bergetar. Pantat dan kaki seperti ada yang menggelitiki. Suara bising yang dikeluarkan dari knalpotnya lebih mirip suara kentut. Sudah seharusnya mobil ini di museumkan.

Pulangnya lebih menakutkan lagi, total 1,8 ton beras yang aku bawa. Karung-karung menggunung di bak yang hampir seluruhnya berkarat. Suara dari mesin yang menggerung tak karuan membuatku panik seraya dengan keringat dingin terus bercucuran. Mulut dan kerongkonganku juga sudah sangat kering.

Akhirnya setelah berpacu dengan rasa cemas, aku berhasil membawa nyawaku dan beras-beras ini dengan selamat sentausa.

"Meni lama padahal penggilingan Haji Bakti mah deket atuh" Ucap Mang Idan yang terdengar seperti protes.

Aku menghembus nafas kasar "Mang, mobil ini teh dah kolot, ga berani saya bawa ngebut mah. Was-was bawanya juga, takut mogok lagi di tengah jalan, terus saya sendiri lagi bawanya, kalau ada apa-apa gimana mang?"

Mang Idan tak menghiraukan protesku, dia masih sibuk melepaskan tambang yang mengikat karung. Aku coba protes lagi "Takut saya mah mang, mending naik kora-kora di pasar malam dari pada bawa mobil ini mah"

Lalu dia mengorek saku celananya "Iya iya udah nih dua puluh buat beli kolek"

Aku ambil sembari menyengir kuda "Tengkyu mang" Dia hanya menjawab dengan berdeham, aku langsung melarikan diri dari tempat ini.

Aa JanjiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang