13

35 5 0
                                    

Aku tak sanggup berjalan lagi, aku takut, malu juga. Bagaimana tanggapan dia saat tahu aku jadi pegawai disini.

"Woy, cepet anterin itu nunggu!" Bentak seniorku sambil membawa beberapa minuman untuk meja nomor tujuh itu.

"Iya a siap" Aku mengikutinya dari belakang.

Aku paksakan langkahku yang berat ini. Gadis itu masih asyik membaca buku, saat aku sudah di mejanya.

Sial, dia melihatku "Aksa?" Ucapnya saat melihatku.

"Eh Ra, i-ini silahkan" Ucapku gagap. Orang di meja tujuh ini Rashya dan ayahnya. Aku menyajikan ke mejanya dengan tanganku yang gemetar.

"Kamu kerja disini?" Tanya Rashya.

Aku hanya membalasanya dengan tersenyum.

"Keren, semangat ya" Ucapnya lagi sembari mengacungkan jempol ke arahku.

"Siap" Balasku dengan hati yang senang di semangati dia.

"Nah mang, ini temen teteh di sekolah, kita sekelas Aksa namanya" Ucap Rashya ke seorang pria yang ada di seberang duduknya. Sebentar, mang? Bukannya orang itu ayahnya?.

Aku membalas dengan senyum ke arah pria itu "Saya balik lagi ya Ra, yang banyak makannya" Aku lalu kembali ke dapur, menunggu perabotan dapur yang harus aku cuci.

Sambil mencuci piring aku memikirkan kejadian tadi. Mang? Jadi pria yang duduk berhadapan dengannya itu bukan ayahnya?. Pamannya kah? Atau mungkin pacarnya?.

Dari dapur aku lihat meja tujuh, hanya ada Rashya, pria berkemeja rapi itu tak ada di mejanya. Aku mencoba menghampiri, aku akan bertanya pria itu siapa sebenarnya.

"Heh, yang tadi bapak kamu?" Tanyaku, membuatnya berhenti menyuapkan nasi.

Dia tertawa mendengar pertanyaanku "Apa? Bapak? Dia bukan bapaku itu Mang Diman supir bapak aku"

"Ohh, kirain bapak kamu, malu atuh saya kalo itu bapak kamu"

Dia melanjutkan makannya "Malu segala" Ucapnya kurang jelas karena mulutnya itu sedang mengunyah.

"Ish, abisin dulu yang di mulutnya baru ngomong"

Aku melanjutkan ucapku "Sengaja kamu kesini?"

"Iya, aku pulang dari Garut, terus mampir dulu kesini laper ga kuat" Jawabnya, lalu menyuapkan nasi lagi.

"Padahal rumah kamu deket dari sini, kenapa ga di rumah aja?"

Dia menatapku sinis "Emang ga boleh hah?"

Aku menyeka noda kecap di ujung bibirnya "Kaya anak kecil makan teh" Meski belepotan seperti itu, dia tetap cantik. Tiba tiba nama Salman muncul di kepalaku.

Aku tak mau berlama lama di sini takutnya aku di tegur seniorku, bahaya. Aku kembali lagi ke dapur yang sibuk ini. Syukurlah ternyata pria yang dengan Rashya tadi supir keluarganya, bukan ayahnya. Malu saja kalau orang yang tadi itu ayahnya, tanggapan keluarganya pasti buruk padaku.

Tak tahu sudah berapa lama aku dan dia tak saling sapa, padahal setiap hari kami bertemu di ruang yang sama. Dekat dan berbicara dengannya membuat rasa yang sudah aku coba buang jauh jauh kembali datang. Benar, dengan komunikasi yang baik bisa merubah banyak hal. Tapi anehnya bukan Dinar yang pertama kali aku pikirkan, tapi Salman. Memegang janji ini ternyata tak semudah yang aku bayangkan.

***

Perkiraanku ternyata benar, fitnah pada bapak yang mencuri pakan ternak sudah sampai di sekolah. Syukurnya hanya sampai di kelasku saja. Si Mak Lampir Vita yang menyebarkannya. Dia tinggal di kampung sebelah, wajar saja dia tahu. Dia sebarkan berita ini ke teman teman kelasku, untungnya mereka tak terlalu memperdulikan, ada yang bertanya langsung padaku juga aku jelaskan sekali mereka mengerti.

Aa JanjiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang