Mereka menatap ku dengan tatapan merendahkan, menghina, jijik, dan membenci seolah-olah aku tidak layak untuk berada didekat mereka, bahkan tidak layak untuk berbagi oksigen di dalam kelas dengan mereka.
Bertahun-tahun kuhabiskan masa-masa sekolahku dengan mereka, teman-teman yang membully dan menghakimiku.
Ralat, mereka bukanlah temanku, aku tidak memiliki teman.
Sendiri dan kesepian.
ku sudah terbiasa dengan hal semacam itu. Aku tidak pernah berbicara kepada siapapun kecuali hal mendesak yang memaksaku untuk berbicara. Kata-kata yang keluar dari bibir mungilku setiap minggu dapat dihitung dengan jari. Aku lebih suka atau mungkin lebih terbiasa berbicara pada diriku sendiri di dalam hati.
Dulu saat pertama kali mereka mengkucilkanku, hatiku terasa begitu perih dengan segala macam caki-makian, tuduhan, dan penghakiman yang mereka lemparkan padaku.
Aku menangis dalam diam setiap malam, terkadang aku memukul-mukul dadaku, berteriak-teriak dalam tangisku, dan memaki mereka yang sebegitu kejamnya terhadapku. Siksaan batin ini begitu menekan dan menyiksaku. Hatiku perih tersayat kata-kata mereka yang setajam silet.
Beberapa kali aku memutuskan untuk mengakhiri hidupku. Namun, segala usaha yang kulalukan selalu gagal. Takdir seperti menyuruhku untuk tetap hidup dan tenggelam dalam siksaan ini.
Sampai pada akhirnya aku menyadari, mereka tidak lebih dari sampah busuk berhati kotor.
Ya, mereka hanyalah sampah busuk.
Aku memegang teguh kata-kata itu agar hatiku tetap kokoh apabila mereka mau menyakitiku.
Awalnya, keyakinanku itu bagai benteng yang melindungi hatiku dari segala macam bullyan yang mereka lontarkan padaku.
Namun, seiring berjalannya waktu, benteng hati yang sudah kubangun mulai terkikis.
Mereka bagai amplas yang bersama-sama menggeroyok dan menyerangku sehingga benteng hatiku terkikis, terkikis, dan terkikis semakin tipis dan pada akhirnya benteng itu remuk menjadi serbuk-serbuk halus yang membuat hatiku semakin terasa pesat.
Lidah mereka bagaikan pisau yang tidak ada habisnya melubangi hatiku. Tatapan mereka mengintimidasi, sungguh menusuk hati dan sungguh membuatku seperti pendosa yang melakukan kesalahan yang sebegitu besarnya.
Kepalaku pusing terasa mau pecah.
Hatiku hancur berkeping-keping.
Tubuhku lemas, gemetar, pucat.
Lihat!
Mereka tidak mempedulikan keadaanku, mereka tetap mencemoohku.
Aku tidak sanggup lagi!
Aku tidak kuat lagi!
Aku tidak tahan lagi!
Aku butuh benda itu!
Aku butuh piano itu!
Aku berlari kencang menerobos kerumunan orang-orang. Aku tidak peduli lagi dengan caci makian apa yang akan mereka keluarkan nanti.
Aku memaksakan kakiku yang sedari tadi sudah lemas untuk tetap berlari. Aku berlari menuju ruang musik di sekolahku.
Pintu itu terkunci. Aku mendobrak-dobrak pintu ruang musik itu. Pintu tua itu rusak terbobolku.
Nafasku terengah-engah.
Jantungku berdetak dengan sangat cepat. Keringat mengalir dari dahiku. Rambutku sudah pasti berantakan.
Aku menatap piano besar ditengah ruangan ini. Hatiku terasa lega. Pikiranku terasa santai. Aku tidak lagi merasa pusing, melainkan aku merasakan kedamaian.
Aku berjalan kearah piano itu. Kutiup debu yang menyelimuti permukaan piano itu. Aku merasakan kerinduan menyelimuti hatiku,
Aku rindu bermain piano.
aku benar-benar merindukan sensasi jemariku yang menari-nari diatas tuts piano.
Aku mulai menekan beberapa tuts piano. Suaranya masih merdu, piano ini tidak rusak.
Aku menutup mataku, kuhirup nafas dalam-dalam. Aku memainkan jariku pada piano ini. Tanganku bergerak lincah, melodi ini sungguh indah, suaranya sungguh menyejukkan hatiku.
Aku tetap menutup mataku, jemari lentikku terus memainkan lagu ini. Memainkan lagu yang Nadanya yang sudah kuafal mati di luar kepala ku.
Seketika aku merasakan kepenatan yang sudah membatu di jiwaku mengalir terbawa melodi ini.
Aliran melodi yang menghanyutkan kepenatanku mengalir menuju jemariku yang terus bermain piano.
Hatiku benar-benar terasa damai.
Segala perasaan yang menganjal dihatiku selama ini hilang dalam sekejap.
Sungguh melegakan.
Aku tersenyum penuh kebahagiaan, hal yang sudah tidak pernah kulakukan selama beberapa tahun terakhir.
Sudah kuduga,
Hanya pianolah yang dapat mengobati segala macam rasa sakit dihatiku.
Hanya pianolah satu-satunya tempat penghiburanku dari kekejaman dunia.
Hanya pianolah satu-satunya temanku.
END
KAMU SEDANG MEMBACA
3S- Sad Short Story
Short StoryKumpulan cerita pendek one shoot dengan bertemakan sedih. Bad ending area. Rank 6 #Sad - 6 Maret 2016 #Indonesiamembaca