11. Ramalan Buruk

18 0 0
                                    


Setelah itu, kami bubar. Para gadis cheers berpindah ke ruangan kamar serba pink, termasuk aku.

"Jadi, itu alasannya kenapa kamu oke-oke aja dengan film Vampire Cheerleaders tapi beneran nggak bisa dengan film berbau zombie?" kata Naomi.

Aku mengangguk. Apa lagi yang bisa aku katakan? 

Kemudian aku melihat mereka membuka majalah di bagian ramalan bintang. Aku bersyukur bahwa Misa sangat tahu cara mendistraksi orang-orang.

Takada mengambil giliran pertama. "Kamu akan menantang seseorang. Berhati-hatilah agar mereka nggak sampai bunuh diri demi menyelesaikan tantanganmu. Ya ampun, aneh banget," komentar Takada.

Misa melanjutkan gilirannya. Alis matanya berkerut. "Seseorang yang kamu kenal bakal kesulitan, tapi kamu nggak bisa menolongnya. Uh... ini terdengar suram," katanya lalu menyerahkan majalahnya padaku. 

Aku menelan ludah. Ramalan mengerikan macam apa yang akan aku dapat? Aku bertanya-tanya. Kemudian aku membacanya dalam hati. Kamu akan tenggelam kalau seorang pahlawan tidak  datang menolongmu. 

Aku sengaja nggak membacanya dengan keras, dan langsung menyerahkan majalahnya ke Mary.

"Well, seseorang yang kamu sayangi akan menderita tapi dia tidak memberitahumu. Berita baiknya adalah keberuntunganmu akan mendatangkan rejeki nomplok," ucap Mary membaca ramalan miliknya.

Aku tahu bahwa ramalan bintang kami berempat saling berkaitan karena semuanya terasa masuk akal. Aku akan menderita, tapi mereka nggak bisa menolongku. Aku merasakan kesedihan dan ketakutan merasuki jantungku.

Mary menyodorkan majalah ke Naomi.

"Kamu akan mendapat kejutan yang tak terduga. Itu keberuntungan baikmu," kata Naomi. Dia menutup majalahnya.

Kemudian Misa mengeluarkan snack-snack miliknya. Para gadis beramai-ramai mengulurkan tangan mereka dan mulai memakannya. Aku juga, hampir saja mengulurkan tangan, tapi cepat-cepat kutarik kembali tanganku.

"Kayaknya aku butuh air," kataku, lalu bangkit dan kembali ke ruang tengah utama. Aku meminum banyak air dan mengisi penuh-penuh botol minumku. Jika saat ini ada seseorang yang bisa melihat isi kepalaku, tentu dia hanya dapat melihat ketakutan dan kesedihan.

Mello muncul di ruang tengah. Dia melihatku dan bercanda dengan menyebutku cewek pesuruh. Aku teringat pada mimpi buruk dan nasib jelekku di ramalan bintang tadi. Ini membuatku jadi semakin sedih. 

"Bukan kok, ini semua bukan untuk orang lain, tapi untukku sendiri. Yah, kamu tahu lah masalah cewek, tubuhku sedang butuh banyak minum," jawabku dengan senyum palsu.

"Mungkin vitamin bisa membantumu. Cobalah, hancurkan beberapa tablet vitamin dan campur dengan air minummu," katanya sambil lalu.

"Makasih sarannya," desisku pelan.

Aku masih memandanginya menjauh. Kemudian Mary datang. Aku menanyakan pada Mary kenapa Mello bisa tahu hal-hal seperti ini.

"Oh, mamanya Mello masih muda banget waktu melahirkan Mello di umur 15 tahun. Makanya, Mello udah terbiasa dengan yang kayak gini."

Aku tercenung. Mello terdengar seperti sosok yang sangat sempurna. Hatiku berderak perih karena nggak bisa memilikinya.

"Matt bilang, dia nggak pernah dengar Mello nyanyi untuk cewek sebelumnya. Jadi, kamu pasti sosok yang penting untuknya, atau dia tahu kalau kamu benar-benar ketakutan dan dia merasa harus melakukan sesuatu untukmu," kata Mary lagi.

Aku tersenyum sedikit. Iya, aku menyadarinya. Maksudku, aku saat itu pasti terlihat ketakutan banget, dan Mello adalah tipikal heroik. Tapi tetap saja aku bukan ceweknya, nggak peduli seberapa pun aku sungguh-sungguh mengharapkannya. 

Kami kembali ke kamar dan bergosip tentang guru-guru di sekolah yang menurut kami ganteng. Misa dan Mary memilih guru olahraga kami yang memang agak mirip dengan kakakku. Aku menyebut mereka sinting. Mereka berdua kan sudah punya pacar!

Misa membuat alasan bahwa dia cuma berpura-pura karena guru itu agak mirip dengan kakakku, alias pacarnya. Mary nggak punya alasan. Kemudian aku menyebut guru Bahasa Inggris kami. Kalau Naomi, dia menyerah dan berkata bahwa dia nggak bisa melihat cowok lain selain Ryuzaki. Aku bersyukur mendengarnya. Kami ngobrol sampai larut malam.

-xXx-

Begitu bangun dari tidur, aku pun segera mandi. Kemudian berganti baju. Kakakku sudah akan siap satu jam lagi. Aku menuju ruang tengah dan mulai peregangan badan. Lalu aku menjatuhkan diri dan memilah-milah game yang ada. Akhirnya aku menemukan yang aku cari, Puzzle Quest. Aku tersenyum. File lamaku sudah menunggu untuk disentuh.

Aku meng-klik game-nya.

Aku kini sudah mencapai level Sorceror ke-16. Setelah bermain dengan kontrol, aku jadi lebih ahli dan mengerti. Kemudian aku disudutkan ke stage lain yang menyita penuh perhatianku. Lawanku ini berambut pirang dan mirip sekali dengan Mello.


HOMERUN (Translated)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang