6. Bersantai dengan si Pitcher

20 0 0
                                    


Aku serasa ingin membunuh Matt. Aku betul-betul nggak bisa tidur karena dihantui bayangan zombie yang mengerubungi rumahku. Aku ketakutan parah. Aku terbangun sambil menangis. Ini masih terlalu pagi dan aku memutuskan untuk mencoba tidur lagi. Sialnya, ini justru membuatku harus mengulang mimpi buruk dan membuatku berkeringat dingin.

Meski masih satu jam lebih awal dari biasanya, aku memutuskan untuk bangkit dan mandi. Aku melihat Light di sana. Hampir saja aku memintanya untuk menenangkanku. Tapi aku nggak melakukannya. Sebab, cewek yang sudah besar sepertiku nggak seharusnya ketakutan seperti ini. Aku bukan anak kecil, kan?

 Kemudian aku sibuk mengemasi perlengkapan sekolahku. Setelah selesai, aku turun ke bawah, makan sedikit, lalu keluar. Aku mengulangi latihan rutinku di halaman. Jujur, aku masih belum pulih dari rasa takutku dan hanya bisa berharap masalahnya terselesaikan di kamar mandi. Aku mandi dengan perlahan sampai Ibu mengetuk pintu kamar mandi karena aku terlalu lama di dalam. Buru-buru aku menyelesaikan mandiku dan mengenakan pakaianku. Aku juga memakai sedikit makeup supaya nggak ketahuan kalau kurang tidur.

Saat aku sudah selesai, aku turun lagi ke bawah. Kali ini aku menyantap menu sarapan besarku. Tampaknya, pikiranku sudah bisa lebih tenang sekarang.

Aku ngobrol dengan Ibu kalau aku akan main dengan teman sepulang sekolah. Nggak sepenuhnya bohong, kan? Dia memang sedang akan jadi temanku. Ibu menyuruhku pulang saat makan malam atau meneleponnya jika aku makan malam di luar. Aku berjanji akan melakukannya. 

Aku nggak berani membayangkan apa yang bakal terjadi kalau aku pulang telat. Maksudku, Ibu memang nggak akan memukulku atau memaksaku pakai popok lagi—dan membuatku ingin bunuh diri di depannya. Nggak, Ibu nggak akan melakukan itu. Lebih ke menyita ponselku atau menghukumku jalan kaki ke sekolah. Ibu tipe orang yang menghukum untuk mendidik. Kalau dia menemukan orang tua yang sembarang menghukum anaknya, Ibu akan mengadukan mereka pada Ayah.

Aku masuk ke mobil Light dan menceritakan rencanaku pada kakakku. Dia menyetir dengan kecepatan normal dan tersenyum padaku. Aku bilang kalau akan pergi bersantai dengan Mello. Kakakku mencengkeram setir mobilnya erat.

"Well, dia nggak buruk untuk dijadikan teman. Tapi pergilah ke tempat umum dan terbuka, jangan langsung ke rumahnya."

Aku mengangguk. Kami nanti akan naik motornya. Yang kayak gitu tentu aja terbuka kan? kataku pada Light. Ia tertawa.

"Dia perlu helm ekstra supaya kamu berhenti mencuri helmnya."

Aku tersipu. Diam-diam aku suka mencuri helmnya.

Akhirnya kami tiba di sekolah.

Aku menuju lokerku, mengambil buku-buku, dan pergi ke kelasku. Aku menata bukuku di mejaku. Kemudian aku kembali ke loker dan bertemu Naomi. Kuceritakan padanya soal rencanaku. Dia nggak bilang apa-apa dan menutup lokernya.

Aku bertemu Mary juga. Aku menceritakan rencanaku dan dia menyeringai. "Kelihatannya kamu udah siap nge-date. Jangan lupa, copot kunciran ekor kudamu."

Aku menelan ludah. Aku nggak pernah melepas kunciran rambut ekor kudaku.

-xXx-

Aku berlari mencegat Mello yang hampir saja meninggalkan sekolah. Aku mengajaknya hang out bareng. Dia mengedikkan bahu dan menghentikan motornya. Dikeluarkannya ponsel berwarna hitam dengan ornamen api menyala. Aku menontonnya mengetik pesan dan kemudian menyimpan ponselnya kembali di saku.

"Aku mengabari Mama kalau bakal pulang telat," katanya sebelum memberiku helm-nya.

Aku naik ke motornya dan memakai helm yang dia berikan. Kulingkarkan tanganku pada pinggangnya. Kemudian kami meninggalkan parkiran.

Kami mulai mengitari kota. Aku benar-benar merasa ini jauh lebih baik daripada berada di dalam mobil Mustang Light. Nggak tahu juga ya, apakah ini karena perusahaan otomotifnya yang hebat, atau aku memang lebih suka motor daripada mobil. Mimpi burukku semalam pun juga lenyap. 

Mello membawaku ke taman. Kami akan bersantai di sana. Dia mematikan motornya dan kami turun dari kendaraannya. Menyenangkan sekali bisa melihat dia dalam balutan T-shirt putih, skinny jeans biru ala grunge, jaket kulit hitam, dan sepatu boots hitam. Aku baru menyadari keberadaan kalung perak berbentuk salib di lehernya. Mungkin aku nggak memperhatikan itu sebelumnya, atau jangan-jangan itu aksesoris baru.

"Aku sudah memilikinya sejak hari pertama di SMP. Mungkin kamu nggak memperhatikannya," katanya.

Wajahku memerah malu. 

Aku membaringkan tubuhku di atas rerumputan dan di bawah pohon Sakura yang mekar. Mello melepas ikatan rambutnya dan menggelengkan kepalanya. Aku menyaksikannya sambil tersenyum. Rambut keemasannya berkilau diterpa matahari sore.

Kemudian aku mulai bertanya beberapa hal tentang dirinya. Dia menjawab sebagian, bahwa warna favoritnya adalah merah dan mobil favoritnya adalah Corvette hitam dengan ornamen api kemerahan. Tapi dia menolak menjawab sebagian lainnya, seperti saat kutanya apa dia punya pacar, dan apakah dia masih virgin atau tidak. Jadi, aku berusaha menjauhi topik semacam itu.

"Kamu pertama kali masuk sekolah di yayasan ini saat kelas 5 SD bukan?" tanyaku, dan dia mengangguk.

"Aku murid pindahan. Menurut guru-guru di sekolah sebelumnya, aku terlalu pintar dan sulit ditangani."

"Oh, apa yang kamu lakukan saat itu?"

"Aku membolos kelas, meretas notebook guruku, menyembunyikan buku pelajarannya di toilet anak cowok..."

Aku kaget mendengarnya. Siapa sangka kalau pitcher tim kami ini dulunya sungguhan anak bandel?

"Kamu nge-track juga di sana?"

"Cuma itu kok yang mereka punya. Kamu sendiri?"

"Hmm?"

"Gimana kamu jadi cheerleader?"

"Yah, cuma itu yang bisa diharapkan dariku. Maksudku, aku nggak bagus-bagus amat di olahraga untuk bisa dimasukkan ke tim. Plus, aku lumayan bisa di cheers. Aku udah jadi cheerleader-nya Light bahkan dari sebelum masuk sekolah."

Kemudian aku bertanya tentang hari ini padanya. Mello bilang harinya baik. Dia balik menanyakanku. Aku juga bilang hariku baik, tapi kelihatannya dia nggak percaya kata-kataku. Toh, dia nggak memaksa. Setelah itu, kami bangkit menuju motor dan pulang.



HOMERUN (Translated)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang