it is a fate

4.2K 451 8
                                        

PRILLY

Aku menatap lampu lalu lintas yang perlahan berganti menjadi merah. Aku menginjak rem dan menetralkan gigi mobil. Aku melepas peganganku pada stir dan mengangkat kedua telapak tanganku menatapnya penuh selidik. Namun aku tak menemukan apapun di sana.

Aku berdecak frustasi. Apa yang sebenarnya terjadi di kebun binatang tadi? Kenapa aku malah mengarahkan tanganku kepada Ali dan bukan lari menyelamatkan diri dari sana? Kenapa juga tidak ada orang lain yang menyadari keanehan itu kecuali aku dan Ali? Ali pasti berpikir aku adalah cewek aneh, pikirku.

Tiba-tiba aku teringat kejadian di cafe tempo lalu. Aku teringat ketika tiba-tiba aku tak jadi terjatuh dan tersiram air panas ketika aku pasrah dengan tubuh yang terhuyung ke belakang. Aku justru melihat Ali mengulurkan tangannya ke arahku seperti yang kualami tadi. Dan tiba-tiba saja hal buruk itu tidak terjadi. Aku termenung dan berpikir keras sambil memainkan bandul kalung sayapku.

"TIIIIIIN!!! TIIIIIIN!!!", suara klakson yang bersahutan menyadarkanku dari lamunan.

Aku menatap lampu lalulintas yang kini menyala hijau. Aku lantas melajukan mobilku segera. Aku berkendara secepat yang aku bisa, namun sepertinya aku salah memilih jalan. Kemacetan jam pulang kantor menjebakku. Aku menggapai ponselku dan mengetik pesan singkat pada Thea mengenai kemungkinan aku akan datang sedikit terlambat.

Aku kembali meletakkan iphoneku di dashboard. Aku menatap jalanan yang penuh kendaraan di depanku dengan tak berselera. Aku membesarkan volume cd player di mobilku dan suara Bruno Mars menemaniku menembus jalanan yang macet menuju sebuah restoran tempat Thea menungguku.

------------------------------------------------------

Aku melangkah tergesa-gesa menaiki tangga restoran. Thea pasti sudah kesal menungguku. Aku melihat palang bertanda toilet tak jauh dari tempatku berdiri, mugkin ada baiknya aku merapikan sedikit penampilanku yang berantakan karena kemacetan yang membuatku frustasi. Aku melangkah terburu-buru ke arah toilet dan tanpa sengaja aku menabrak seseorang dengan amat keras.

"BRUKKK!!!", aku terpental kebelakang dan saat aku kehilangan keseimbangan, aku merasakan seseorang menangkapku.

Aku menatap wajah laki-laki yang kutabrak dan kini sedang menopang tubuhku yang oleng. Aku terdiam sesaat melihat matanya yang indah terbingkai bulumata lentik dan panjang itu menatapku tajam. Aku mengenalnya! Pikirku. Beberapa hari ini ia selalu muncul dalam benakku dan mengganggu konsentrasiku.

"ALI?", aku memekik tertahan.

"Hei Prill.", jawabnya berusaha terlihat santai namun jujur saja aku menangkap keterkejutan sekaligus ada kebahagiaan di sana, kebahagiaan yang kurasakan juga saat aku melihat matanya yang kini selalu menghantuiku.

Kami sempat saling tatap sekian detik sebelum akhirnya aku menyadari bahwa aku berada di dalam pelukannya. Aku tersentak, menegakkan tubuhku dan menjauh darinya. Ali tampak berbeda tanpa kacamata hitam dan topi baseball atau hoodienya. Aku melihat wajahnya yang tampan itu tanpa terhalang apapun.

"Sorry. Sorry.", kata Ali padaku.

"Lo ngapain disini? Jangan bilang lo nyatet jadwal gue ya?!", tanyaku tak menggubris permintaan maafnya. Aku menuduhnya mencatat schedule ku yang tercatat di bukuku saat ia menyimpannya.

"Ngga lah. Pede banget lo. Gue ada meeting di sini. Lo ngapain di sini?", ia balik bertanya.

"Gue juga ada meeting di sini.", jawabku singkat.

"Prilly!", aku mendengar seseorang memanggil namaku.

Aku menoleh dan mendapati Thea tengah duduk bersama beberapa orang lain yang kuduga adalah rekan meetingku. Aku rasa hanya aku yang terlambat, tapi mengapa ada dua kursi kosong di sana. Aku menoleh sekilas kepada Ali, lalu melangkah cepat menuju meja Thea.

"Akhirnya sampe juga lo. Ini Pak Rama dari PH yang minat sama novel lo untuk dijadiin film. Ini Om Reza, sutradara yang ditunjuk sama Pak Rama. Ini Kak Riri, manajer dari calon pemeran utama pria di novel lo.", kata Thea padaku saat aku menempati kursi di sebelahnya.

"Maaf ya semuanya. Saya tadi kejebak macet.", aku melempar senyum ke sekelilingku.

"Iya ngga apa-apa kok. Kita juga baru mau mulai. Ali! Ayo kita mulai meetingnya.", aku mendengar Kak Riri meneriaki seseorang yang ketika kulihat, betapa terkejutnya aku adalah Ali yang kukenal. Pemilik tatapan tajam itu.

Ali melangkah perlahan ke arah kami. Ia duduk di sebelah Kak Riri. Aku menatapnya tak percaya. Ia pun menatapku bingung. Kami sama-sama terkejut. Aku memaki diriku sendiri yang tidak pernah menonton televisi. Aku bahkan tidak tahu Ali adalah seorang artis!

Aku mendengar penjelasan Pak Rama yang berminat dengan cerita salah satu novelku yang sudah dua kali naik cetak. Aku juga sempat mendengar Om Reza menyampaikan garis besar dan gambaran film yang akan dibuatnya dari novelku. Aku juga mendapatkan kesempatan menjelaskan bagaimana gambaran yang aku inginkan dari novelku ketika dijadikan sebuah film.

Pembicaraan dilanjutkan dengan Pak Rama yang mengaku sudah yakin untuk mengontrak Ali menjadi pemeran utama pria dari film ini. Om Reza juga menjelaskan akan melakukan casting untuk mencari pemeran wanita. Selebihnya aku tak terlalu mendengarkan karena Thea yang lebih paham soal perjanjian dan kontrak. Aku mempercayakan semua padanya. Aku melempar pandangan pada Ali yang ternyata sejak tadi memperhatikanku.

Namun pikiranku tak berada di sini. Apakah ini takdir? Atau ini sebuah kebetulan? Aku bertemu Ali lagi di sini, dan kami berdua tidak tahu apa-apa soal diri masing-masing. Apa yang sebenarnya terjadi padaku? Mengapa begitu banyak hal aneh terjadi setelah aku bertemu dan mengenalnya? Berbagai pertanyaan menghampiriku, hingga suara Thea membuyarkan lamunanku.

"Oke. Makasih banyak Pak!", aku menoleh pada Thea dan melihat semua orang di meja berdiri dan bersalaman.

Aku bangkit berdiri dan menjabat tangan mereka semua termasuk Ali. Seperti biasa, jantungku berdetak cepat saat aku menyentuh tangannya dan melihat matanya yang menatapku dalam.

"Makasih banyak ya 'Prill. Wah kamu berbakat banget, tulisan kamu bagus-bagus loh. Aku suka baca.", kata seorang wanita bernama Kak Riri itu kepadaku.

"Makasih Kak.", jawabku sambil tersenyum.

"Makasih banyak ya, Mbak.", kata Kak Riri lagi sambil menyalami Thea.

"Sama-sama, Kak.", jawab Thea sambil tersenyum.

Aku dan Ali terlibat saling pandang beberapa detik, kemudian Ali melambaikan tangannya dan berbalik menyusul Kak Riri yang sudah lebih dulu meninggalkan meja. Aku ternganga dibuatnya. Begitu banyak kejadian mengejutkanku belakangan ini. Aku tak bisa lebih terkejut lagi menyadari bahwa aku tertarik pada Ali, dan ternyata Ali adalah seorang artis.

------------------------------------------------------

wings of alter egoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang