the premiere

2.7K 226 43
                                        

PRILLY

Aku mematut diriku di cermin. Aku melihat bayangan seorang gadis yang begitu familiar. Ia balas menatapku, seperti biasa. Namun ada yang lain di wajahnya. Ada yang tak biasa di matanya. Mata yang belakangan ini berbinar cerah kini tampak kosong. Bahkan senyum yang belakangan ini menghiasi wajahnya sudah tak tampak lagi.

Aku menarik sudut bibirku, memaksa diriku membentuk sebuah senyuman. Aku menata rambutku yang tergerai melewati bahu dengan jari-jariku. Aku memperhatikan kaos promo filmku yang kupadukan dengan overall rok lebar yang jatuh diatas lututku. Semua tampak sempurna.

Aku mendengar bunyi klakson mobil. Ali pasti sudah tiba. Aku menghela napas berat. Aku menyambar tasku dan kacamata hitamku lantas melangkah keluar kamar menghampiri Thea yang masih terbaring karena demam di kamarnya.

"Thea, gue berangkat ya.", kataku sambil menjulurkan kepalaku melalui celah pintu yang kubuka.

"Iya 'Prill. Sorry ya, gue ngga bisa nemenin lo.", jawabnya lemah. Ia masih terbaring di ranjangnya, berbalut selimut.

"Iya, ngga apa-apa. Lo cepet sembuh ya.", pesanku lantas menutup pintu dan bergegas menuruni tangga menuju ruang tamu.

"'Bi, jangan lupa nanti bikinin bubur buat Thea ya.", pesanku pada Bi Sumi sambil membuka pintu depan.

"Iya 'Non. Hati-hati ya 'Non.", pesan Bi Sumi yang kini berada di ambang pintu untuk mengantarku keluar.

"Makasih 'Bi.", jawabku lantas melangkah keluar pagar menghampiri Ali yang menunggu di dalam mobil.

Aku membuka pintu mobil dan melempar senyum yang kupaksakan padanya. Ia juga tersenyum singkat padaku.

"Pagi 'Li.", sapaku lalu menutup pintu mobil.

"Pagi 'Prill. Udah siap?", tanyanya padaku sambil mengenakan kacamata hitamnya.

"Udah.", jawabku singkat sambil ikut mengenakan kacamata hitam yang sejak tadi bertengger di kepalaku.

Ali mengangguk singkat lalu melajukan mobilnya meninggalkan rumahku. Aku dan Ali terjebak dalam kesunyian yang tidak mengenakkan. Kami berdua duduk dalam diam. Ali sibuk dengan kemudinya sementara aku menyibukkan diriku dengan sesekali memainkan ponselku.

"Sorry ya 'Li, gue jadi ngerepotin lo gini.", kataku berusaha memecah keheningan.

"Ngerepotin apanya?", tanya Ali datar.

"Ngerepotin lo harus jemput gue. Sorry ya.", kataku lagi.

"Ngga kok. Lagian kan tujuan kita sama.", jawab Ali tanpa mengalihkan pandangannya dari jalanan di depan kami.

Aku kembali diam. Ali?! Separah itukah aku menyakiti hati kamu?, pikirku. Sejujurnya ada rasa lega melihatmu yang mungkin akan menjauh dariku karena aku telah menyakitimu. Namun ada rasa dingin yang kurasakan ketika kamu tak sehangat dulu kepadaku, batinku. Aku melempar pandangan keluar jendela di sebelah kiriku.

Aku menarik dan menghembuskan napas perlahan. Aku menahan air mata yang kini telah menggenang dan membuat pandanganku samar-samar. Tenang 'Prill, yang kamu lakukan sudah benar. Kamu tidak boleh membiarkan perasaanmu pada Ali berlarut-larut. Kamu harus ingat untuk mencari Digo, kataku dalam hati.

Sisa perjalanan kami habiskan dalam diam. Ali memasang cd lagu coldplay favoritnya, setidaknya menghilangkan keheningan yang canggung diantara kami. Tak sampai satu jam kemudian, kami sudah tiba di lobby salah satu gedung bioskop terbesar di Jakarta. Aku melihat poster besar film kami yang menginfokan jadwal pemutaran perdananya hari ini. Banyak juga pers dan media yang meliput acara nonton bareng pemutaran perdana film kami bersama pemenang kuis yang diadakan oleh stasiun radio, majalah dan tivi.

Aku dan Ali sempat saling tatap sesaat sebelum seorang petugas valet membuka pintu Ali dan mengambil alih kemudi. Ali melangkah cepat dan membukakan pintu untukku. Aku melangkah turun dari mobil dan mulai merasakan teriakan riuh rendah fans Ali yang biasa mengikutinya kemanapun ia pergi. Ali menatapku dari balik kacamata hitamnya. Ia tersenyum padaku, aku membalas senyumnya. Ali sungguh profesional, ia mampu mengubah mood dan ekspresinya yang datar tadi dengan Ali yang hangat, yang kukenal sebelum ia menyatakan cintanya padaku. Sebelum aku menolak cintanya.

Ali menutup pintu mobil dan berdiri tepat di sisiku. Tangan kirinya menggapai tangan kananku dan menyelipkan jari-jarinya diantara jari-jari tanganku, menggenggamnya erat. Ada rasa rindu teramat sangat dan hangat menjalar di sekujur tubuhku.

Aku menoleh pada Ali dan kami sempat saling melempar senyum. Sorot kamera dan blitz pun menghujani kami. Aku dan Ali menyempatkan diri melambai pada para fans yang datang namun tidak bisa ikut nonton bareng dengan kami. Aku dan Ali melangkah memasuki bioskop yang dipenuhi oleh para tamu undangan dan pemenang kuis yang beruntung menonton tayangan perdana film bersama semua pemeran dalam film kami.

Aku melihat Kevin Julio dan Dahlia Poland serta Jessica Mila berada di salah satu sudut ruangan sedang melayani permintaan foto bersama dan tanda tangan. Aku dan Ali masih bergandengan tangan, hendak menghampiri mereka. Namun tiba-tiba kerumunan fans Ali dan mungkin fansku mengerubungi kami. Aku dan Ali pun ikut dihujani permintaan foto dan tanda tangan.

Aku dan Ali pun kembali tampak dekat dan akrab. Beberapa kali kami melayani permintaan foto bersama, dan Ali merangkul bahuku atau pinggangku. Tak jarang Ali meletakkan tangannya di kepalaku melempar wajah jenakanya ke kamera dan gadget yang terarah pada kami. Aku melihat banyak kamera dan gadget yang mengabadikan kedekatan kami.

Aku dan Ali seolah melupakan kecanggungan yang sempat terjadi diantara kami. Ada kebahagiaan yang kurasakan meskipun aku tahu semuanya hanya akting dan sebatas profesionalisme saja. Aku dan Ali tak mungkin membiarkan media memberitakan keretakan hubungan yang sebenarnya tak pernah terjalin diantara kami.

Pemutaran film segera dimulai. Kami segera memasuki ruangan teater. Aku, Ali, Dahlia, Kevin, Mila, dan pemeran lain dalam film menempati satu baris kursi di tengah. Produser, sutradara dan tamu undangan berada di depan deretan kursi kami. Kursi lainnya dipenuhi para pemenang kuis dan awak media.

Aku duduk di sebelah Ali. Banyak kamera dan gadget terus mengarah pada kami hingga pencahayaan benar-benar dipadamkan ketika film akan dimulai. Ketika itu juga aku dan Ali kembali canggung. Aku merasakan air mata menggenangi kelopak mataku. Aku tak bisa melihat layar teater dengan jelas. Aku tak peduli, toh aku juga tak bersemangat menontonnya.

Pikiranku melayang kembali ke rumahku. Saat Ali menyatakan cintanya padaku. Saat aku menolaknya dengan halus. Saat yang kurasakan paling munafik dalam hidupku. Ketika aku sadar aku membohongi diriku sendiri bahwa aku tak menyukainya.

Aku mengingat Ali yang memalingkan wajahnya dariku. Aku melihat air mata menggenang di sudut matanya. Ia melepas tanganku dari genggamannya. Hari itu, tanpa sepatah katapun ia melangkah meninggalkanku di balkon. Pertama kalinya ia meninggalkanku tanpa pamit. Pertama kalinya aku merasa kesepian tanpa satupun pesan whatsapp darinya.

Aku menangis dalam diam. Kegelapan ini membebaskanku untuk menumpahkan perasaanku. Inilah saat aku paling dekat dengan Ali, namun merasa sangat jauh dengannya. Ali ada di sebelahku namun aku merasa ia jauh pergi meninggalkanku. Ada rasa kehilangan yang begitu dalam. Karena ketika bibirku mengatakan aku tidak memiliki perasaan padanya, hatiku justru berteriak aku mencintainya. Air mataku mengalir perlahan. Ini pertama kalinya aku menangis tanpa terisak.

------------------------------------------------------

wings of alter egoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang