ALI
"Udah pulang 'Bang?", aku mendengar suara Mama tepat setelah aku menutup pintu depan.
Aku melihat Mama dan Kak Alya, kakak perempuanku sedang bersantai di sofa. Tangannya memegang remote tivi yang memutar sebuah ftv yang sudah lama kuperankan. Aku melihat diriku berseragam SMA sedang menggenggam tangan Marsha, lawan mainku di ftv itu. Tiba-tiba darahku berdesir melihat scene genggaman tanganku dan Marsha. Jantungku berdetak cepat tanpa kumengerti alasannya.
"Udah 'Ma.", jawabku singkat, masih menatap televisi.
"Dari mana aja 'Li?", tanya Kak Alya tanpa memalingkan wajahnya dari tivi.
"Dari cafe doang. Ngopi.", jawabku lagi.
"Awas ngga bisa tidur lo.", Kak Alya mengingatkanku.
"Ngga lah kak. 'Ma, Ali ke atas dulu ya. Besok jam berapa?", tanyaku pada Mama.
"Kata Riri besok jam delapan pagi udah jalan dari rumah. Jangan kesiangan ya 'Bang.", kata Mama padaku.
Aku mengangguk kemudian melangkahkan kakiku menaiki tangga melingkar menuju kamarku di lantai dua. Aku memegang kenop pintu dan mendorong pintu kayu yang pasrah dan membuka ke dalam. Aku melangkah masuk, menyentuh saklar lampu yang kini menyala menerangi kamarku.
Aku melempar notebook di genggamanku ke atas ranjangku. Bergegas melepas jaket dan topi baseballku. Aku melangkah ke kamar mandi, mencuci muka dan kakiku. Rasa malas yang teramat sangat menghinggapiku hingga aku mengurungkan niatku untuk mandi. Aku berganti pakaian, lantas merebahkan tubuhku diatas ranjangku yang berbalut sprei klub bola favoritku Barcelona.
Aku menatap langit-langit kamarku. Wajah gadis di cafe tadi muncul dalam benakku. Mata cokelatnya, aroma tubuhnya, semuanya terasa hangat dan familiar. Siapa dia?, pikirku dalam hati. Ya ampun, Ali! Kenapa juga kamu mikirin dia, aku mengomeli diriku sendiri.
Pikiranku melayang kembali saat aku menabraknya dan ia hampir terjatuh. Aku menatap telapak tanganku. Melihatnya dengan seksama mencari sesuatu di sana. Tapi yang kulihat hanya guratan garis tangan halus yang umum dimiliki semua orang. Mengapa aku tadi refleks mengulurkan tanganku ke arahnya? Bukannya menarik dan menahan tubuhnya yang terhuyung kebelakang? Tapi toh, dia tak terjatuh. Sepertinya keajaiban menyelamatkannya dari tragedi jatuh dan tersiram air panas. Aku mengernyit membayangkannya.
Aku memejamkan mataku. Tetapi mata cokelat yang teduh itu kembali menatapku. Aroma manis dan lembut yang kuhirup saat didekatnya tadi pun terasa memenuhi paur-paruku. Aku tak bisa mengusirnya dari kepalaku. Ali! Ada apa sih?! Kok jadi aneh begini?! Aku mengumpat lagi dalam hati.
Aku menoleh, melihat notebook bersampul kulit berwarna merah tua itu. Aku mengulurkan tanganku menggapainya. Aku bangkit dan duduk bersandar pada sisi ranjangku yang bersentuhan dengan dinding. Aku menatap buku itu lagi. Menimbang-nimbang untuk membukanya. Mungkin ada alamat atau sesuatu tentangnya, pikirku. Akhirnya aku membuka halamannya.
Prisisilly Latuconsina. Aku membaca nama itu tertulis di halaman pertama setelah aku membalik sampul kulitnya. Jadi, itu nama pemilik buku ini?! Apa benar ia gadis cantik bermata cokelat tadi?, pikirku. Rasa penasaran menghinggapiku hingga aku terus membalik halaman demi halaman di buku itu.
Aku melihat banyak sketsa gambar. Potongan-potongan syair indah. Paragraf-paragraf yang tampaknya bagian dari sebuah tulisan. Aku terus menyusuri lembar demi lembar di buku itu hingga aku sampai di bagian agenda. Aku melihat banyak coretan. Stiker-stiker bertuliskan deadline serta jadwal-jadwal kegiatan, alamat bahkan nomor telepon tertulis secara acak disana dengan pena berbagai warna.
Aku mengernyitkan dahiku. Berpikir sambil tanganku sibuk memain-mainkan bandul kalung berbentuk sayap yang tak pernah terlepas dari tubuhku. Gadis ini tampaknya seseorang yang sangat sibuk. Jadwalnya begitu padat menyaingi jadwalku. Aku mengingat wajahnya, sepertinya ia bukan seorang artis, pikirku. Namun wajah cantiknya begitu familiar bagiku.
Aku menepis khayalanku. Menutup notebook tadi dan meletakkannya di meja sisi tempat tidurku. Aku merebahkan tubuhku lagi di atas ranjang. Menatap langit-langit kamarku. Wajah gadis itu kembali menghantuiku. Aku memejamkan mataku dan mengubah posisi tidurku, menyamping. Mata cokelat itu kembali menatapku.
Aku menghela napas panjang dan akhirnya menyerah. Aku mengambil notebook tadi, sibuk mencari informasi untuk mencari tahu siapa gadis itu. Aku berdecak frustasi. Aku benar-benar tak bisa tidur sekarang. Bukan karena espresso tadi, tapi karena gadis itu. Karena mata cokelatnya yang indah, dan aroma tubuhnya yang terus menghantuiku.
------------------------------------------------------
![](https://img.wattpad.com/cover/26888986-288-k624741.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
wings of alter ego
ФанфикDigo dan Sisi dikirim ke bumi oleh Raja Oskya. mereka harus meninggalkan nightingale. cinta mereka diuji untuk bisa bersatu. identitas mereka diganti, sifat mereka ditukar. akankah mereka bertemu? akankah mereka mengingat satu sama lain? atau bahkan...