PRILLY
Aku menyesap hazelnut latteku perlahan, lalu melempar pandanganku ke jendela cafe yang basah terguyur air hujan. Tanganku yang lainnya sibuk memainkan bandul kalungku yang berbentuk sayap berwarna silver. Bulir-bulir air hujan yang merayap turun di permukaan jendela itu menarik perhatianku. Memberiku inspirasi.
Aku menegakkan dudukku, meletakkan cangkirku dan kembali menatap layar laptop. Aku menuangkan sebanyak mungkin hal yang muncul di kepalaku. Aku mengangkat lagi cangkir latteku, menyesapnya sambil menyandarkan tubuhku di kursi. Aku kembali menyentuh bandul kalungku yang berbentuk sayap itu. Aku membaca ulang kalimat-kalimat yang baru saja kuketik.
"Beep.. Beep..", aku mendengar ponselku berbunyi disertai getaran lembut di meja.
Aku menggapainya. Membuka sebuah pesan masuk yang kuterima. 'Best Seller lagi! Salut sama lo. Ditunggu buku terbarunya.', aku membaca isi pesan singkat itu. Aku menyentuh layar iphone ku, lalu menguncinya.
Isi iphone ku tak jauh-jauh dari urusan pekerjaanku sebagai penulis. Aku bukan orang yang pandai berkata-kata secara langsung. Aku tak pandai berteman. Temanku hanya satu, namanya Thea. Ya, ia yang tadi mengirimiku pesan singkat. Hanya ia yang menerima keadaanku yang amat pendiam, ketus, dan anti sosial ini.
Thea adalah teman sekaligus asistenku yang membantuku urusan pekerjaanku sebagai penulis. Aku juga tinggal bersamanya di rumah yang kubeli hasil royalti novel yang kuterbitkan serta cetakan ulangnya yang hingga kini mencapai puluhan kali.
Aku ingat Thea pernah bilang, aku adalah gadis yang beruntung. Parasku cantik, rambutku indah, kulitku putih, dilahirkan di keluarga berkecukupan, dan aku juga seorang penulis berbakat yang mandiri. Orangtuaku tinggal di Seattle, menangani bisnis keluarga. Sejak kecil aku tinggal di rumah kami yang megah bersama beberapa pengasuh. Aku merasa bosan dan sepi, hingga akhirnya ketika aku memiliki penghasilan sendiri, aku bertekad membeli rumah yang tak terlalu besar untukku.
Namun itu menurut pandangan Thea, atau bahkan orang-orang lain di sekitarku. Tetapi dalam diriku, aku tak tahu mengapa ada bagian yang kosong. Hampa. Padahal aku selalu melakukan hal yang kusuka. Menulis. Bagaimana aku bisa merasa hampa bahkan ketika aku bisa menghabiskan waktu dengan melakukan hal yang kusuka? pikirku dalam hati.
Aku mendengar gemerincing dari windchime yang bergantung di pintu cafe. Aku menoleh melihat sepasang kekasih melangkah masuk. Mereka tertawa bersama sambil saling menyeka bulir air hujan yang membasahi jaket dan rambut mereka. Aku melihat tangan mereka yang lainnya saling menggenggam bertautan erat. Tangan mungil gadis itu tampak sangat pas berada dalam genggaman laki-laki itu. Seperti tangan laki-laki itu dibuat khusus hanya untuk tangan gadis itu. Ada rasa gugup dan kehangatan yang menelusup dalam hatiku yang tak bisa kujelaskan mengapa. Ada apa dengan genggaman tangan mereka? pikirku.
Aku menyadarkan diriku dari lamunanku. Ayolah Prilly, masih banyak yang harus ditulis, kataku dalam hati. Aku kembali menenggelamkan diriku di balik laptopku yang sejak tadi menungguku menuangkan sesuatu. Tak lama kemudian, aku mulai sibuk dengan duniaku sendiri, tulisanku sendiri.
------------------------------------------------------
Aku menatap jam tanganku, mataku membelalak. Sudah tiga jam aku di sini sejak sore tadi. Aku menghela napas berat sambil menutup laptopku dan memasukannya kembali kedalam tasku. Aku meninggalkan beberapa lembar uang di meja sebagai tip kemudian melangkah terburu-buru menuju pintu keluar cafe yang semakin malam justru semakin ramai.
Aku melangkah sambil memiringkan badanku ke kanan dan ke kiri menyesuaikan celah yang tersisa untuk kulewati karena antrian kasir cafe yang lumayan ramai. Aku menggapai pegangan pintu dan bergegas keluar dari cafe.
"BRUKKK!!!", aku menabrak seseorang dengan amat keras.
Tubuh mungilku terpental kebelakang. Aku menghantam seseorang yang berada di belakangku. Aku mendengar orang-orang yang melihatku berteriak histeris. Bagaikan slowmotion, aku melihat bayanganku melalui kaca jendela cafe. Hatiku mencelos. Aku menabrak seorang waiter yang membawa teko berisi teh panas di belakangku. Teko teh itu bergoyang hebat. Aku memejamkan mataku, sambil mengayun tanganku kebelakang untuk menopang tubuhku jika aku benar-benar terjatuh.
Namun aku tak tahu mengapa, teriakan histeris itu menghilang. Kini aku merasakan semua orang menatapku yang entah bagaimana caranya, berhasil berdiri tegap lagi. Teko berisi teh panas tadi juga tak jadi menyiramku. Aku sempat bingung dan terkejut. Namun yang lebih mengejutkan lagi adalah, laki-laki yang menabrakku tadi. Ia berdiri di hadapanku. Tangannya terulur ke arahku, telapak tangannya bahkan menghadap ke arahku.
Aku menatapnya bingung. Ia tampak tak kalah bingung. Ia menatap mataku begitu dalam. Aku sempat terpesona akan bulumatanya yang lentik dan panjang membingkai matanya yang hitam dan tatapannya yang tajam. Ia mengalihkan pandangannya dari mataku ke telapak tangannya yang kini tak terulur lagi, bahkan ia menatap telapak tangannya amat dekat dengan wajahnya. Aku melihat dahinya berkerut, tampak berpikir keras.
"Sorry. Gue ngga sengaja.", kataku padanya.
"Eh, ngga. Ngga kok. Gue yang salah. Sorry ya.", katanya padaku sambil tersenyum simpul.
Aku hanya melihat senyumnya karena ia menundukkan kepalanya, dan topi baseball yang ia kenakan membuat wajahnya semakin tak terlihat di bawah cahaya lampu cafe yang temaram. Aku tak meresponnya. Aku hanya mengangguk singkat lalu berlalu meninggalkannya.
Aku membuka payungku dan berjalan cepat menembus hujan menuju rumahku yang memang tak jauh dari cafe favoritku itu. Aku sering sekali berada di sana untuk menulis, mencari inspirasi, atau bahkan sekedar menghabiskan waktu. Namun hari ini berbeda. Aku merasakan sesuatu yang tak bisa kujelaskan. Mungkin insiden tabrakan tadi memberi warna pada hariku yang selalu monoton. Atau mungkin karena tatapan laki-laki tadi yang begitu tajamnya hingga membuat jantungku berdegup kencang dan darahku berdesir? Perasaan apa ini?, pikirku sambil terus melangkah di atas trotoar yang basah karena hujan.
------------------------------------------------------

KAMU SEDANG MEMBACA
wings of alter ego
FanfictionDigo dan Sisi dikirim ke bumi oleh Raja Oskya. mereka harus meninggalkan nightingale. cinta mereka diuji untuk bisa bersatu. identitas mereka diganti, sifat mereka ditukar. akankah mereka bertemu? akankah mereka mengingat satu sama lain? atau bahkan...