|| Di Balik Arka yang Tegar ||

96 6 2
                                    


"gue anterin lo pulang"

"gak mungkin gue biarin anak cewe pulang sendirian. Apalagi dia abis keluar sama gue"

Dea tersenyum sendiri sepanjang jalan menuju basement parkir mall. Meskipun membuatnya capek mengikuti langkah Arka yang lebar tapi itu tak masalah baginya. Dea enggan protes.

"Kak, lo kenapa sih tadi? Gue tanya ribuan kali gak lo jawab sih" ucap Dea ketika mereka sudah berada di dalam mobil Arka

Arka getir dalam hati. Tidak enak menceritakan dengan Dea.

"ini pasti kalau Selena yang tanya bakal dijawab. Ya kan?"

Kali ini Dea bertanya dengan kesal sedangkan Arka hanya diam saja, enggan menjawab.

Sepanjang jalan mereka hanya mendengarkan radio. Jalanan Jakarta yang macet membuat Arka geram karena dia membawa Dea. Orang tuanya pasti khawatir -pikirnya, padhal Dea sama sekali tidak mengkahawatirkan hal itu karena dia sudah berkirim pesan dengan mamanya.

"Dea, nyokab bokap lo gak khawatir lo pulang malam?"

Dea hanya menggelengkan kepalanya. Dia tidak mau menjawabnya dengan sepatah kata pun.

"emang di rumah ada siapa? Nyokap bokap lo ada semua?"

Dea enggan menjawab. Dia masih kesal dengan Arka yang sedari tadi ditanya maupun diajak ngobrol juga tidak antusias menjawab. Meskipun Dea menggilai Arka bukan berarti Dea tidak punya harga diri yang bisa diperlakukan seenaknya. Dea ingin Arka tahu rasanya diajak ngobrol tapi lawan bicara enggan atau tidak antusias menjawab.

"Dea, lo dari tadi gue tanya kok gak dijawab?"

Arka akhirnya sadar

Dea mengarahkan wajahnya pada Arka yang sedang mengemudi. Dia hendak mengomeli Arka.

"lo pikir enak kalau lawan bicara lo gak antusias diajak ngobrol? Ngerasain kan? Dari tadi gue tanya lo kenapa, lo juga gak mau jawab. Kurang tabah apa gue, huh?"

Arka menghela nafas. Jujur saja kalau dia bisa mengungkapkan pada Dea, pasti dia akan mengungkapkannya. Arka bukannya tidak mau dibilang cengeng tapi dia harus kuat. Dia tidak mau lemah lagi.

"gue bakal jawab apa pun yang lo tanya kecuali masalah tadi—"

"soal gue keluar waktu kita nonton. Maaf ninggalin lo sendirian" sambung Arka dengan nada menyesal.

Dea diam saja mendengarkan Arka yang meminta maaf. Seharusnya Dea antusias karena tidak semua cowok akan mudah mengakui kesalahan meskipun itu kesalahan terkecil.

"De, udah dong jangan marah sama gue" ucap Arka lagi.

"Kak, susah ya cuman bilang kenapa lo keluar waktu kita nonton tadi? Susah ya bilang 'sorry, De, gue gak srek sama filmnya. Gue gak suka genre yang mewek – mewek gitu. Gue lebih suka yang kayak end game'. Susah ya cuman bilang begitu?" protes Dea

Mereka kali ini berhenti di pom bensin. Arka merasa ini kesempatan untuk menghindari pertanyaan Dea. Pertanyaan Dea secara otomatis membuka luka lamanya.

"pertamax, dua ratus ribu, Bang"

Arka hendak turun dari kemudinya namun Dea mencegahnya dengan menggeggam tangan Arka.

"gausah turun. Bensin lo tetap akan terisi tanpa lo turun. Gue pengen denger jawaban dari lo – alasan lo ninggalin gue sendiri waktu kita nonton" ucap Deaa menggenggam tangan Arka yang lebih besar darinya.

Arka memejamkan matanya. Dia enggan sekali menjawab pertanyaan susah ini.

"gak ada pertanyaan lain yang bisa lo tanya?"

"gak ada"

"Dea. Gue ini broken home. Semua keluarga punya cerita kan? Ayah bunda gue pisah secara gak baik – baik. Mereka cerai. Lo kira gampang jadi gue? Ngelihat adek lo sakit – sakitan karena situasi ini belum lagi nyokap lo yang frustasi. Lo kira gampang jadi gue? Bahkan sampai sekarang" ucap Arka penuh dengan keluh kesah dan emosi.

Arka tidak menangis namun wajahnya memerah ketika meluapkan semua emosinya. Dea menjadi kasihan dengan Arka. Kehidupan Dea malah kebalikan dari Arka. Keluarganya harmonis dan selalu memprioritaskannya.

Dea memeluk Arka yang sedang meredam emosi masa lalunya sambil menepuk bahunya. Dea bahkan tidak mengharapkan Arka akan membalas pelukannya namun ternyata Arka malah memeluknya erat.

"nangis aja kalau mau nangis. Gak apa – apa kok"

Ketokan pada jendela mobil membubarkan keintiman mereka berdua. Petugas pom bensin ini memberitahu bahwa bensin yang diisi telah selesai dan saatnya keluar dari pom bensin.

"gue tahu lo baik. Ehm, lo cowok tanggung jawab sih. Lea beruntung punya kakak kayak lo" puji Dea pada Arka

Arka reflex tersenyum dan Dea leleh akan senyum yang tanpa Arka sadari. Arka seperti mendapatkan energy setelah Dea memujinya. Bahkan pujian itu tidak pernah dia dengar dari mulut Selana.

"gue gak pernah peres kalau puji orang. Gue puji orang apa adanya"

Dea mengangkat tangan kiri Arka yang berada di setir lalu meletakknya di pangkuannya bersamaan dengan menyatukan tangannya yang lebih kecil dari Arka. Arka tentu bingung akan apa yang Dea lakukan.

"Gue dulu pernah nemu notes di buku tulis Lea. Notes dari kakanya dan isinya sweet banget. One more, Lea luckies to have you" ucap Dea sembari tersenyum dan berceloteh kepada Arka. Arka menjadi terenyuh seketika mendengar celotehan dari Dea.

Dea memang sengaja meberika Arka such 'positive vibe'. Dea seakan mengerti bahwa Arka ini bisa saja lemah di dalam tapi terlihat kuat di luar.

"cerita dong" pinta Dea masih menggenggam tangan Arka di pangkuannya.

"cerita apa?"

"terserah lo. Soal.... Ehm, yang tadi mungkin – keluarga lo. Tapi kalau lo gak mau juga gak apa – apa sih. Gue gak maksa"

Arka seakan – akan mendapatakan 'kepercayaan' bahwa dia bisa nyaman bercerita dengan Dea.

"serius lo? Masa Lea gak pernah cerita?" tanya Arka menoleh pada Dea

"kan gue pengen dengar dari kakaknya"

***

Dea masih menyimak cerita Arka malah sekarang Dea yang menangis mendengarkan cerita Arka. Arka malah terkesan santai saja.

"gue lampiasin sama main basket gak kenal waktu. Bahkan gue kadang pulang jam setengah 12 malam. Lea juga sakit – sakitan mulu" ucap Arka dan penasara juga, Arka menoleh kea rah Dea

"woy, kenapa lo yang nangis?" tanya Arka sembari terkekeh

Dea menghapus air matanya dengan tisu yang tersedia di mobil Arka. Arka jadi bingung, padhal dia sangat santai sekali menceritakan masa lalu pahitnya.

"gak apa – apa. Gue mah begini. Nonton film nangis. Apa – apa nangis. Untung ngejawab soalnya matematikanya Bu Lina gak nangis meskipun dapet nilai nomer absen" cerocos Dea sambil mengelap air matanya yang tidak berhenti keluar

"emang nilai lo berapa?"

"waktu UAS kemaren nilai gue 35. Lea dapet 40 kan? Beda tipis lah"

Arka hanya menelan ludah mendengarkan Dea dengan bangga menyebutkan nilainya tapi memang Arka akui bahwa soal dari guru matematika super killer di sekolahnya memang sadis dalam memberi soal dan juga pelit nilai.

"kalau lo dapet berapa? Ya masa satu team sama Selena nilainya kayak gue. Para 'jelata' matematika" ucap Dea sembari menekankan kata tertentu

Arka terkekeh kecil mendengarkan Dea yang cerewet menurutnya.

"gue dapet berapa yah kemaren? 70 sekian kali. Gue lupa" ucap Arka dengan entengnya.

"gue dapet nilai 70 udah potong tumpeng kali ya" ucap Dea sembari tertawa dan disusul Arka padhal ini hanya candaan receh.

Dalam hal apa pun, Dea mampu mencairkan suasana.

"Kak Arka, lo ini sebenernya lemah di dalam tapi terlihat kuat di luar. Boleh kan gue obatin luka lama lo?" 

Refrain of LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang