Alva mengikuti laju taksi yang Vanya tumpangi, dalam otaknya pria itu hanya ingin membantu untuk memberikan gambaran yang tak berujung, namun setelah berhasil mengucapkan kata-kata pahit itu, Alva merasa begitu bersalah.
"Sialan, kenapa aku harus ikut campur dalam masalah pelik ini." Alva mengumpat sebari beberapa kali memukul stir mobil.
Berbeda keadaan yang tengah Vanya lakukan, ia melamun di sepanjang perjalanan bahkan Vanya tidak tahu jika taksi yang Vanya tumpangi sudah berada di tempat tujuan.
Vanya terhenyak dari lamunan setelah sang sopir itu menyapanya dan memberitahunya jika mereka sudah sampai di alamat tujuan, Vanya segera melakukan pembayaran dan kembali meraih kopernya dan menggeretnya tepat di hadapan sebuah gerbang rumah yang dingin.
"Aku kembali pulang."
Dalam hatinya ia menguatkan diri, setelah cukup berlama membohongi diri sendiri, bahwa sebenarnya ia tak merasa baik-baik saja.
Vanya membuka gerbang pintu dan kembali menggeret kopernya, dengan langkah kaki gontai, Vanya masih tetap melanjutkan. Sampai akhirnya ia sampai di depan pintu namun manik lelahnya kembali mendapatkan sebuah kejutan yang tak kalah memporak porandakan kembali rasa kekecewaannya, rumah yang ia miliki berserta kenangan di dalamnya kini sudah berpindah tangan.
"Brian!"
Sumpah serapah ia lontarkan dalam hatinya dan kini kedua kakinya akhirnya memutuskan untuk luruh di atas lantai. Dengan isakan semakin banyak Vanya kembali harus memperkuat perasaannya jika Brian pria yang benar-benar ia cintai begitu kejam telah mengambil apa yang ia miliki.
Di depan gerbang, sepasang mata memperhatikan. Alva tak tahu sebenarnya apa yang terjadi, namun dari apa yang ia pandangi saat ini, sebagai seorang pria ia merasa begitu sangat bersalah telah mengucapkan kata-kata menyakitkan tadi, Alva membuka gerbang setelah tak kuasa untuk menahan diri melihat bagaimana Vanya begitu terluka.
"Apa kamu baik-baik saja?" Alva mencoba meraih pundaknya, namun ia urungkan dan justru terduduk tepat di hadapan Vanya dan kedua manik miliknya membaca surat pemberitahuan jika rumah ini telah berpindah hak pemilik, Alva kembali menolehkan pandangan dan melihat betapa rapuhnya Vanya.
Setelah menyadari jika ada seseorang, vanya berusaha menghapus airmatanya.
"Kenapa kamu kemari?"
"Kamu membuntuti saya?"
Pertanyaan beruntun sudah Vanya lontarkan, tapi pria itu hanya celingak celinguk entah ke mana arah tujuan manik miliknya. Kadang menggaruk tengkuknya dengan kikuk, sebenarnya ada apa? satu pertanyaan muncul dari otak
"aku akan mengantarmu."
Setelah hening, akhirnya Alva angkat bicara.
"Ke mana?" Ayolah, Vanya sudah semakin penasaran untuk segera mencari tahu jika bayi ini akan di terima atau tidak, jika buruk kemungkinan yang Vanya dapatkan dalam koper yang ia bawa terselip satu tiket pesawat untuknya melarikan diri.
Keputusan yang sulit, tapi mau bagaimana lagi satu wilayah dengan rasa sakit hatipun bukan perihal baik. Vanya ingin melupakan semuanya, cinta beserta kecerobohannya.
"Elard ada di tempat lain."
Vanya bernapas lega dengan segera ia menghapus sisa airmatanya, lalu perlahan ia menyandarkan punggungnya, Vanya menyaksikan keramaian dari balik jendela mobil setelah lima belas menit Vanya berada di dalam mobil Alva, Sampai akhirnya kedua maniknya membulat tak percaya, sudah sangat jelas jika dirinya tak meminta untuk di antarkan pulang lalu kenapa Alva mengantarnya kembali menuju mansion milik suaminya, ralat! tak lama lagi jadi mantan suami.
Vanya harap-harap cemas, jemari tangannya terus mencengkeram kuat seat belt yang menyilang di tubuhnya, berpuluh kali harapannya adalah agar pikiran negative nya enyah dengan segera, kedua tungkai kakinya semakin melemas.
Haruskah ia masuk?
Bertemu kembali dengan Brian?
Vanya merasa jika itu ide buruk, akhirnya Vanya lebih memilih menunggu sampai Eard keluar.
Alva menoleh sesekali kearahnya, berharap jika wanita itu mau turun. Alva takut jika Brian menggoda Elard yang berujung dengan wajah mereka babak belur. "kamu tak masuk?"
Vanya menggeleng ragu, sejujurnya ia sangat ingin masuk tapi keberaniannya menciut seraya dengan ucapannya tadi jika sudah keluar ia tak ingin masuk kembali maka Vanya tetap dalam pendiriannya, tak ingin kembali menoreh luka baru.
"Elard ada di dalam."
Sebelum Alva berucap, Vanya sudah menebaknya di tambah mobil sport milik Elard berada tepat di depan pintu utama, dan Vanya tetap memilih mengawasi dari kejauhan.
Sungguh bukan ia tak ingin masuk dan memperjuangkan hak atas janin dalam kandungannya, bukan seperti itu. Hanya terlalu sesak dalam suasannya saat ini Vanya tak menduga akan perbuatannya yang hina akan menghasilkan satu makhluk suci tak berdosa, Vanya menyesal sangat sangat menyesal jika di perkenankan saat ini juga Vanya sudah sangat lelah untuk berjuang.
Setitik buliran bening itu lolos kembali dari pertahannya yang kian lemah, dengan cepat Vanya mengusap kasar. Manik sembab nya masih setia menanti dan menunggu, kiranya sang pria itu segera keluar.
Alva bungkam, pertama kali ia melihat seseorang menangis tersedu di hadapannya.
"Apa kamu yakin tak ingin masuk ke dalam? aku takut Elard dan-" ucapan Alva tergantung mendengarkan suara gaduh yang mengagetkan.
Keduanya menoleh bersamaan, tapi Vanya jauh lebih cepat melepas seat belt lalu berlari sekuat yang ia bisa melupakan sejenak akan makhluk kecil yang bersemayam kokoh di dalam tempat bernama rahim.
Vanya membuka gerbang dan kembali berlari, napasnya memburu karena sesak yang ia terima. Di hadapannya ada dua pria yang sedang tarik-menarik untuk masuk ke dalam alur hidupnya, Vanya membeku di tempat. Apa yang harus vanya lakukan Tuhan? di depannya tak menentukan hasil yang membuat Vanya untuk siap berjuang.
Brian masih mengepalkan kedua tangannya kuat-kuat dan siap untuk kembali memberi sebuh bogeman kepada Elard, si pria yang terduduk nyeri dengan setengah wajahnya babak belur. Brian emosi, sekuat tenaga pria itu siap memberi pelajaran yang amat lebih menyakitkan lagi meski sakitnya fisik takkan pernah sebanding dengan batin yang terkoyak, sejujurnya ada rasa sesak ketika Vanya dengan cepat menjadi tameng pelindung Elard.
Vanya memeluk tubuh Erald, pukulan itu akhirnya mengenai punggung Vanya. Lumayan nyeri sampai Vanya mengaduh tetap di posisi sama wanita itu memeluk tubuh Elard.
"kamu baik-baik saja?" tanya Vanya dengan mimik wajah sedih, buliran bening itu kembali bermunculan semakin banyak tak terhitung, banjir.
"Aku baik-baik saja." Elard menangkup pipi Vanya dan menyeka airmatanya. "apa pun demi kamu."
Tanpa ia duga Vanya tersenyum.
Prok! Prok! Prok!
"Pasangan yang serasi, silahkan nikmati barang bekas."
Sungguh itu bukan seorang Brian Luxio, Vanya mengenalnya sangat mengenalnya tapi ucapan angkuh itu semakin menyayat hati Vanya, belum reda lukanya kini goresan baru siap menjadi luka yang akan mendatang.
"Jangan dengarkan." Elard menenangkan, pria itu tahu jika hati Vanya jauh lebih sakit dari luka fisik yang ia peroleh, masih banyak waktu untuk membalas.
Vanya mengangguk, wanita itu membantu tubuh Elard untuk beranjak bangun dan membalikkan tubuh keduanya secara bersamaan.
"Aku tak menyangka-"
"Kamu sangat murahan Vanya Magenzie."
Jleb!
ucapan itu menusuk tepat jantungnya, Vanya merasakan sesak luar biasa sampai ia enggan untuk menarik oksigen baru untuk paru-parunya. Ia tahu hal itu, tapi mendengarkan penghinaan keluar dari mulut seseorang yang sangat kita cintai tentu bukan perkara yang mudah di terima, air matanya semakin mengalir deras Vanya tak memiliki muka untuk membela diri, memang ia murahan.

KAMU SEDANG MEMBACA
SURROGATE HUSBAND
RomanceVANYA & ELARD Mungkin ini hanya kisah klasik, sebagai seorang istri Vanya tahu jika kebahagiaan bukan hanya sekedar harta, kehangatan dalam rumah tangga sangat ia butuhkan saat ini. Vanya sangat mencintai suaminya namun perasaan itu lambat laun lunt...