Satu.

267 41 10
                                    

Hidup kita penuh dengan harapan. Sampai-sampai kita nggak pernah sadar dengan hal itu.

Dan gue, nggak suka sama harapan.

Memang, nggak ada yang salah dengan berharap. Sama sekali nggak salah kalau seseorang punya harapan. Kadang harapan jugalah yang membuat manusia tetap hidup. Ya, harapan untuk hidup. Harapan untuk tetap bisa melihat hari esok. Harapan untuk bisa menjalani hari esok yang lebih baik. Nothing wrong.

Sometimes kita juga butuh harapan untuk menguatkan kita. Agar kita tetap bertahan pada sesuatu. Agar kita tetap memperjuangkan sesuatu. Agar kita nggak mudah nyerah sama keadaan. Harapanlah yang memberi kita kekuatan.

Tapi yang nggak gue suka adalah, ketika apa yang didapat nggak sesuai dengan apa yang diharapkan. Hasilnya mematahkan harapan yang udah dibuat. Dan tau yang terjadi selanjutnya? Kita mencari-cari kambing hitam untuk disalahkan atas kekecewaan kita.

Menyalahkan keadaan. Menyalahkan orang lain. Menyalahkan takdir. Kenapa orang-orang nggak coba menyalahkan diri mereka sendiri karena sudah berharap? Ini, nih. Ini yang nggak gue suka dari harapan.

Karna itu, gue secara nggak langsung melarang diri gue sendiri untuk berharap pada apapun kecuali pada diri sendiri. Bahkan, untuk suka sama cowok gue jadi takut.

Bukan takut sebenarnya, tapi... apa, ya? Seperti membatasi diri biar nggak berharap. Mungkin karna itu gue jadi nggak pernah yang suka sama cowok. Atau mungkin pernah tapi gue nggak sadar, atau lupa?

"YAYAAA... KOK LO NINGGALIN GUE LAGI SIH? KAN UDAH GUE BILANG, BERANGKAT SEKOLAH, PULANG SEKOLAH, HARUS BARENG GUE."

Hari masih pagi, tapi telinga gue udah penuh dengan polusi suara. Teriakan Nobel benar-benar mencemari udara. Gue berusaha nggak peduliin Nobel sambil menahan malu karna dia teriak-teriak terus di sepanjang koridor.

Oh, iya. Ternyata gue pernah suka sama cowok. Sama teman masa kecil gue, ya, yang gue maksud adalah Nobel. Dan sekarang gue nyesel, kenapa dulu waktu SD gue bisa suka sama makhluk semacam Nobel yang nggak ada bagus-bagusnya ini?

"Pulang sekolah nanti bareng gue, ya? YAYAAAA..."

Nobel masih terus ngebacot sampai gue tiba di kelas, XI IPA-2

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Nobel masih terus ngebacot sampai gue tiba di kelas, XI IPA-2. Nobel nggak sekelas sama gue, tapi hampir setiap pagi dia mampir terlebih dahulu ke kelas gue. Entah untuk sekedar duduk-duduk ngadem di bawah kipas, atau kadang juga nyari sarapan gratis dari teman sekelas gue yang kebetulan bawa bekal.

Tapi alasan sebenarnya adalah Nobel nggak terlalu betah di kelasnya, kalau nggak kumpul sama teman-teman basketnya, dia pasti ke kelas gue. Jadi nggak heran kalau dia juga kenal dekat sama teman-teman sekelas gue.

"AH ANJIIRR." Nobel spontan mengumpat karna dipukul sama Sora dari belakang.

"Kalo mau tereak-tereak tuh di tengah lapangan sana, biar kelihatan kayak orang gila sekalian. Bikin sakit kuping tau nggak sih lo?"

AverageTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang