Sebelas.

60 18 6
                                    

Hema.

Menurut yang gue baca dari Wikipedia, ulang tahun adalah hari kelahiran seseorang, menandai hari dimulainya kehidupan di luar rahim. Ada juga yang memaknai ulang tahun sebagai pertambahan umur—atau pengurangan jatah hidup di dunia.

Umumnya ulang tahun dirayakan dengan pesta ulang tahun bersama keluarga atau teman. Pada saat seseorang ulang tahun, sudah menjadi kebiasaan untuk memperlakukan orang tersebut dengan spesial. Sayangnya, itu nggak berlaku di keluarga gue.

Gue terlahir di keluarga yang bodo amat sama ulang tahun. Karena itu gue jadi nggak peduli sama ulang tahun. Bagi gue hari ulang tahun sama saja seperti hari-hari lainnya. Hanya bilangan di usia kita yang bertambah.

Setidaknya itu pemikiran gue yang dulu sebelum seseorang mengubahnya.

Orang itu bilang kalau terlahir ke dunia merupakan salah satu anugrah dari Tuhan, karena itu kita harus bersyukur di hari ulang tahun kita. Begitu juga dengan hari ulang tahun orang-orang yang kita sayangi, kita harus bersyukur dengan kelahiran mereka.

Gara-gara omongannya itu, gue rela semaleman nulis kalimat panjang-panjang buat ucapan ulang tahun. Jam 5 pagi tepat gue ngirim pesan ulang tahun itu buat seseorang yang gue sayang. Salah satu dari sedikit orang yang gue syukuri kelahirannya.

Beberapa menit kemudian gue langsung mendapat telfon.

"What the hell is this?"

Amerta Abimana. She never changes, always to the point as usual.

"Di Jerman harusnya udah lewat tengah malem, udah ganti hari kan?"

"Kalo udah tahu ngapain nanya? Seneng banget ganggu orang tidur."

Gue ketawa kecil sebelum kemudian jawab, "Happy birthday my beloved sister, thanks for being born in the world. I really happy for you."

"Lo kesurupan apa, deh?"

"Kak Ata mah nggak so sweet, harusnya kakak bilang "Makasih banyak Adekku sayang. Kakak terharu, deh." Kayak gitu, Kak. Nggak peka banget."

"Ih, jijik banget."

"Padahal aku ngetik itu semaleman, mana kalimatnya panjang. Udah capek-capek malah nggak dihargai." Gue memelankan suara gue biar terdengar kecewa.

Terdengar Kak Ata menghembuskan napas. Sepertinya dia mulai berempati sama usaha gue. "Thanks a lot, my beloved little brother. Thanks for being the first and only one who wish me a happy birthday."

Seiring dengan ucapan Kak Ata, bibir gue terangkat membentuk senyum. Gue merasa senang, tapi juga miris mendengan kalimat Kak Ata. The only one, katanya.

"BTW gue nggak suka sama penulisan lo yang 'semoga cepet nikah'. Harus banget dibold gitu?"

Gue ketawa. Memang sengaja nge-bold kalimat itu. "Biar cepet terkabul. Inget umur, Kak. Dua tahun lagi udah kepala tiga, lho."

"Bacot lo. Bodo amat ah sama umur, mau kepala tiga kek, kepala empat kek, nggak peduli gue."

Gue ketawa lagi, kali ini lebih keras. Kak Ata udah 6 tahun tinggal di Jerman, tapi mulut bar-bar khas Indonesianya masih mendarah daging.

"Dah udah. Mau balik tidur gue, lo juga siap-siap sekolah sana." Kak Ata menguap di akhir kalimatnya.

"Bye, Kak. Titip salam buat Mama ya, Hema kangen." Meskipun gue tahu Mama nggak akan menjawab, bahkan nggak bisa memahami perkataan gue, gue selalu nitip salam buat Mama. Setidaknya untuk membuat gue lega.

AverageTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang