Rhea.
Malam Minggu, jadi malam yang ditunggu-tunggu sama banyak orang. Terutama mereka yang berpasangan ataupun orang-orang yang sedang kasmaran.
Gue pribadi nggak tahu apa yang membuat malam Minggu jadi lebih spesial dibanding malam-malam lainnya. Kalau menurut gue, nggak ada bedanya sama malam-malam lainnya kecuali esok harinya libur. Udah, itu aja yang beda.
Tapi banyak orang menganggapnya begitu spesial sampai-sampai muncul istilah 'malam Minggu-an'. Dan acara 'malam Minggu-an' ini jadi begitu berarti.
"Iya, sebentar lagi Ayah pulang. Tunggu Ayah di rumah, ya sayang." Suara bapak-bapak Grab yang duduk di depan gue terdengar jelas.
Lihat, bahkan para pekerja keras masih menyempatkan untuk 'malam Minggu-an' di tengah-tengah kesibukannya.
"Habis nganterin orderan ini Ayah pulang. Mau dibeliin martabak juga?"
Gue masih memperhatikan bapak-bapak Grab tersebut sampai beliau menutup telfonnya dan berdiri untuk mengambil pesanan martabaknya, bersamaan dengan datangnya Nobel yang baru selesai memesan martabak.
"Kebiasaan lo. Nguping percakapan orang itu nggak baik, Rhe," ucap Nobel sambil duduk di kursi plastik bekas bapak-bapak Grab tadi.
Bukannya menanggapi Nobel, gue justru terfokus sama bapak penjual martabak yang dengan tangkas memotong-motong martabak lalu memasukkannya ke dalam kotak. Malas menanggapi omongan Nobel yang nggak penting.
Padahal udah gue bilangin berkali-kali. Gue bukannya nguping, tapi sedang memerhatikan hal-hal di sekitar. Kurang kerjaan memang. Tapi itu lebih baik daripada melamun ketika sedang nggak ngapa-ngapain.
Males banget sebenernya, malam Minggu gini disuruh keluar rumah cuma buat beli martabak. Apalagi keluarnya sama makhluk semacam Nobel yang nyebelin parah, nggak bisa diem.
"Lo yang goblok! Udah tau gue manfaatin masih aja minta balikan. Dasar goblok!"
Tuh, baru aja gue selesai bilang, setannya udah keluar.
Sekilas info. Nobel ini makhluk sejenis buaya yang kalian sering temui di novel atau film-film teenfict. Cowok fakboi yang sekarang lagi mainstream banget.
Lihat aja, di dunia nyata dia sedang misuh-misuh nggak jelas, berbanding terbalik sama ketikan pesannya yang sweet banget bikin pengen muntah. Tipe-tipe buaya yang bunuh-able.
Perhatian gue sekarang teralih karena ponsel gue bergetar panjang, tanda ada panggilan masuk.
"Oy, Rhe!" Suara laki-laki dari seberang sana menyapa begitu gue menerima telfonnya.
"Apa?"
"Lagi di mana?"
Gue menjawab dengan jujur, "Lagi beli martabak sama Nobel."
Dia menjawab "Ooh," dengan lesu. "Padahal gue lagi lewat daerah rumah lo, mau sekalian mampir," lanjutnya.
"Sori, ya. Gue lagi nggak ada di rumah." Gue jadi merasa bersalah mendengarnya.
"Kalo gitu coba lo nengok ke kanan."
Karna penasaran, gue jadi spontan nengok ke kanan.
Surprise.
Cowok yang sedang menelfon gue sekarang sedang berdiri di sana, berjarak sekitar lima meter dari tempat gue duduk.
Tangannya melambai. Sambil tersenyum lebar dia berjalan ke arah gue.
"Iih, bikin kaget aja," ucap gue begitu dia tiba di depan gue.
Dia malah ketawa. "Jelek banget ekspresi kaget lo."
KAMU SEDANG MEMBACA
Average
Teen Fiction"How can I love you if I don't love who I am?" "Then you don't need to love me. It's enough if only I who love you." Rhea Aninditha, seorang gadis yang hanya sebatas rata-rata. Untuk menjadi 'lebih', dia terhalang oleh batas 'cukup'. Tentang Rhea ya...