Rhea.
Sampai detik ini Nobel udah tiga kali menanyakan hal yang sama ke gue, "Perasaan lo ke Abe gimana?" dan gue tetap menjawab "Nggak tau." Karena gue beneran nggak tau apa yang gue rasain ke Abe.
Ada saat dimana gue merasa nyaman, seneng, dan deg-degan secara bersamaan ketika gue lagi bareng Abe. Meskipun jarang terjadi, tapi ada kalanya juga gue merasa takut dan ragu ketika bareng Abe.
Gue orang yang suka overthinking. Apa-apa dijadiin bahan overthinking yang ujung-ujungnya bikin gue kena tekanan batin.
Abe yang dengan mudahnya masuk ke kehidupan gue, kemudian membuat gue seneng dan nyaman ini tentu saja membuat gue berpikiran yang enggak-enggak. Makanya gue belum bisa memvalidasi perasaan gue ke Abe.
Kalau ditanya "Lo nyaman waktu bareng Abe?" Iya, gue nyaman.
"Lo suka sama Abe?" Iya, gue suka sama dia.
"Lo sayang sama Abe?" Gue bahkan nggak tahu definisi sayang yang dimaksud itu seperti apa.
"Lo cinta sama Abe" Hampir 17 tahun gue hidup, cinta yang gue tahu itu cuma cinta orang tua ke anaknya. Dan Abe jelas bukan orang tua ataupun anak gue.
Jadi, apa sebenarnya bentuk perasaan gue ke Abe?
Hal lain yang membuat gue ragu adalah: apa perasaan Abe juga sama kayak gue? Atau selama ini cuma gue yang merasakan dan perasaan dia ke gue biasa aja?
Iya, gue emang se-overthinking itu.
Keraguan gue semakin bertambah waktu Abe menjauh dari gue sejak beberapa hari yang lalu. Dia dengan mudahnya pergi waktu gue mengatakan kalimat itu. Padahal gue sama sekali nggak bermaksud untuk membuat dia pergi.
Dan ketika gue melihatnya berdiri di depan pintu rumah gue dengan wajah datarnya, ketakutan yang membuat gue overthinking selama ini semakin menjadi-jadi.
"Rhe, gue mau ngomong sesuatu."
Kalimat pertamanya sukses membuat gue jantungan. Untungnya gue bisa mengontrol diri gue dan bisa berpikir untuk mengajaknya ke lapangan komplek dekat rumah gue. Karena ada Kak Angga di rumah, gue takut dia ganggu.
Abe sama sekali nggak protes atau bertanya ketika gue mengajaknya ke lapangan. Dia cuma mengangguk dan mengikuti langkah gue.
FYI, lapangan komplek gue selalu sepi. Entah itu pagi, siang, ataupun sore kayak sekarang ini. Ramenya cuma kalau ada lomba agustusan atau lomba-lomba lain yang biasa diadakan sama karang taruna.
Ketika sampai gue langsung duduk di kursi semen pinggir lapangan, sedangkan Abe masih berdiri. Gue udah menepuk-nepuk tempat kosong disebelah gue, mengisyaratkannya buat duduk. Tapi dia menggeleng, memilih untuk tetap berdiri di depan gue.
"Rhea." Suara pertama muncul dari mulut Abe, membuat jantung gue makin nggak karuan.
"Gue nggak pengen ngomong panjang-panjang. Gue juga bukan orang yang pinter ngerangkai kata. Intinya, gue cuma mau bilang kalo..."
KAMU SEDANG MEMBACA
Average
Teen Fiction"How can I love you if I don't love who I am?" "Then you don't need to love me. It's enough if only I who love you." Rhea Aninditha, seorang gadis yang hanya sebatas rata-rata. Untuk menjadi 'lebih', dia terhalang oleh batas 'cukup'. Tentang Rhea ya...