Empat Belas.

48 11 5
                                    

Rhea.

Terlahir dari keluarga yang baik-baik saja membuat gue berpikir kalau keluarga yang mempunyai masalah seperti perceraian, KDRT, sampai penelantaran anak itu hanya ada di film atau sinetron.

Bagi gue, hal itu terlalu drama untuk bisa ada di dunia nyata.

Gue bisa berpikir seperti itu karena memang gue nggak pernah menemui kasus tersebut secara langsung. Sampai akhirnya waktu kelas 8 SMP pemikiran gue tentang hal tersebut berubah.

Teman terdekat gue sendiri yang menyadarkan gue bahwa keluarga yang penuh masalah seperti di film-film itu memang ada di dunia nyata.

"Aku ikut Mama ke Pekanbaru, Rhe."

Sore itu dia datang ke rumah gue dengan banyak lebam di tubuhnya. Gue nggak pengen bertanya tentang apa yang udah terjadi. Yang gue tahu sore itu adalah kali terakhir gue melihatnya sebelum dia pindah dan akhirnya lost contact.

Dan hari ini, setelah mendengar cerita Hema gue kembali sadar kalau di luar sana masih banyak anak kurang beruntung yang terlahir di keluarga yang enggak baik-baik aja.

"Papa menceraikan Mama waktu tau kalau Mama mengalami gejala skizofrenia. Tapi bukannya pisah dengan cara baik-baik, Papa justru menyebar fitnah yang bukan-bukan tentang Mama."

Hema bercerita dengan tatapan kosong, mengenang masa-masa yang pahit itu.

"Padahal Mama itu wanita paling baik yang pernah gue temui. Beliau nggak pernah bentak atau mukul anak-anaknya, kepribadiannya benar-benar baik. Gue nggak habis pikir, gimana bisa orang sebaik itu malah dapat cobaan yang berat banget. HARUSNYA SI B*JINGAN ITU YANG KENA KARMA."

Hema berteriak, kemudian tiba-tiba terisak. Dia nggak sanggup nerusin ceritanya. Gue pun berinisiatif menepuk-nepuk punggungnya.

"Itu karena Tuhan sayang sama Mama lo, makanya Tuhan ngasih ujian. Nanti ketika Mama lo udah lulus ujian, Tuhan akan ngasih hadiah."

Gue nggak tahu kalimat gue bisa menenangkan Hema atau enggak, tapi semoga aja Hema paham maksud gue.

"Lo harus yakin kalau Mama lo kuat, beliau pasti bisa melewati semua ini."

Kemudian suasana jadi hening karena kita sama-sama diam. Tangis Hema pun sudah berhenti. Tatapannya kembali kosong.

Dengan suara khas orang yang habis nangis, Hema memanggil gue. "Rhe..."

"Ya?"

"Boleh peluk?"

Tanpa menjawab pertanyaan Hema, gue segera memajukan badan gue kemudian memeluknya.

Gue memang nggak pernah tahu gimana rasanya berada di posisi Hema. Tapi satu hal pasti yang gue ketahui dari Hema adalah: dia membutuhkan sosok ibu dan... dia rapuh.

Setelah beberapa menit berpelukan, Hema mengajak gue ke balkon untuk mencari udara segar sambil menikmati pemandangan kota yang sebentar lagi menggelap karena malam.

Cerita Hema masih berlanjut, tapi kali ini tanpa air mata. Dia hanya bercerita tentang kehidupannya selama ini.

Awalnya Hema dan kakak keduanya tetap tinggal di rumah Papanya, tapi lama-kelamaan Hema muak dengan Papanya yang selalu menjadikan Hema pelampiasan ketika sedang ada masalah di perusahaan.

Sebenarnya Hema ingin sekali ikut Mama dan Kakak pertamanya ke Jerman, tapi Papanya melarang. Bahkan paspor Hema pun ditahan biar dia nggak bisa pergi menemui Mamanya.

Hema akhirnya memilih tinggal sendiri di apartemen ini. Sesekali kakaknya datang kesini untuk memastikan keadaan Hema. Tapi kata Hema "Kak Bara cuma pencitraan biar dikira masih peduli sama gue. Padahal aslinya dia bodo amat sama hidup gue."

AverageTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang