Sepuluh.

87 21 6
                                    

Rhea.

Udah beberapa hari ini gue berangkat dan pulang sekolah bareng Abe. Gue nggak tahu awal mulanya gimana, semuanya ngalir begitu aja tanpa direncanakan.

Tanpa ada yang ngajakin buat pulang bareng, gue dan Abe udah saling nunggu di depan area parkir. Dan ketika udah ketemu, Abe akan bilang "Yuk, pulang."

Sederhana. Tapi rutinitas berangkat dan pulang bareng ini terasa berarti buat gue. Nggak tahu kalau buat Abe.

"Mau makan dimana?"

Motor Abe baru aja keluar dari gerbang ketika dia bertanya. Pertanyaan itu juga udah menjadi kebiasaan di antara kita.

"Terserah." Jawaban andalan para cewek yang juga selalu jadi jawaban gue ketika Abe nanya mau makan dimana.

Abe nggak pernah protes ketika gue jawab gitu. Kata dia, bukan cewek namanya kalau ditanya mau makan dimana langsung jawab maunya apa.

"Mie ayam gimana?"

"Boleh."

Beberapa menit kemudian gue dan Abe udah sampai di sebuah warung mie ayam pinggir jalan. Dari luar warungnya terlihat biasa, tapi di dalam ternyata ramai banget, hampir nggak ada bangku kosong.

"Sini, jagain kursinya. Gue pesen dulu."

Gue menurut, duduk di kursi plastik yang ditunjuk Abe tadi. Rata-rata yang makan di sini anak-anak sekolahan sama kuliahan. Pekerja kantoran mungkin cuma satu-dua.

Nggak lama kemudian Abe datang sambil bawa dua gelas es teh.

"Di sini minumnya cuma es teh, nggak papa kan?" tanyanya waktu udah duduk di sebelah gue.

"Ya nggak papa, lah. Biasanya juga gue minum es teh."

"Siapa tahu aja lagi diet. Sekarang kan banyak tuh cewek-cewek yang nggak doyan gula. Apalagi es teh gini, maunya teh hijau."

Gue justru ketawa kecil karna omongan Abe. "Kayaknya lo tahu banget tentang cewek-cewek gitu?"

"Seano sering cerita tentang pacarnya yang lagi diet. Ribet banget katanya kalau diajak makan. Makan ini nggak mau, minum itu nggak mau. Dibeliin ini nggak suka. Ribet pokoknya."

Gue ketawa lagi.

"Lo nggak gitu, kan?"

"Enggak lah. Buktinya gue sekarang ada di sini, di warung mie ayam pinggir jalan bareng lo."

"Bener juga. Berarti, gue beruntung ya?"

Gue merespon dengan mengernyitkan dahi. Kalimatnya itu bikin gue nggak paham.

"Ya beruntung gitu, bisa sama cewek yang nggak ribet kayak lo. Yang meskipun jawab "terserah" tapi nggak pernah protes diajak makan apa aja."

Gue udah mau jawab, tapi nggak jadi karna mie ayam kita udah datang. Abe langsung mengaduk mie ayamnya, kayaknya nggak perlu denger jawaban gue.

"Mie ayam di sini tuh terkenal banget. Selain rasanya enak, harganya juga terjangkau. Makanya rame gini," jelas Abe sebelum dia menyendok mie ayamnya.

Sambil makan, gue memperhatikan Abe yang sedang makan dengan lahap. Cuma fokus sama makanannya, seperti nggak peduli sama sekitar.

Setelah beberapa kali makan bereng, gue jadi hapal sama beberapa kebiasaan Abe ketika makan. Yang pertama, dia suka banget sama kecap. Lihat aja sekarang kuah mie ayamnya jadi hitam karna kebanyakan kecap.

Yang kedua dan yang paling gue suka adalah sikap nggak pedulinya dia ketika makan. Ketika makan fokusnya dia cuma buat makanannya, dan nggak ada yang boleh ganggu.

AverageTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang