Rhea.
"KOK NGGAK LO PAKEK JAKETNYA?"
Dateng-dateng udah nge-gas aja nih anak. Gue nggak jawab apa-apa, malah berjalan ninggalin Nobel yang masih berdiri di depan pintu kelas gue.
"YAYAA! TUNGGUIN GUE!"
Nggak lama kemudian Nobel udah berjalan di sebelah gue.
"Dipakek jaketnya, entar lo sakit lagi gimana? Bukannya gue perhatian sama lo, jangan ge-er lo. Tapi kalo lo sakit gue yang kena marah Mama Tsani."
Bukannya jawab, gue justru mengubah topik. Lagi nggak mood aja bahas 'jaket'. "Mana tuh pacar lo? Tumben nggak ada yang ngajakin pulang bareng."
"Udah gue titipin ke Arkan. Biar gue bisa pulang bareng lo," ucap Nobel sambil senyum-senyum sok manis yang kesannya justru najisin. "Kan kata Mama Tsani disuruh jagain lo," tambahnya lagi.
"Kenapa nggak gue aja yang dititipin ke temen lo?"
"OOOH, JADI LO PENGEN PULANG BARENG ABE? Oke, gue panggilin bentar. Kayaknya sih dia belum pul-ANJIR, SAKIT WOY!" Nobel mengusap-usap lengannya kesakitan.
Kalo nggak gue cubit kayak gitu, Nobel nggak akan mungkin diem.
Padahal gue nanya gitu cuma karna iseng. Sama sekali nggak ada pikiran yang mengarah ke Abe. Bisa-bisanya Nobel bilang gitu, emang dasar otaknya Nobel penuh sama hal negatif.
"Lo tunggu di sini aja, gue ambil motor bentar."
Akhirnya gue nungguin Nobel di luar area parkir. Nggak ikut masuk karna disuruh Nobel nunggu di sini aja. Jam-jam bel pulang baru bunyi gini emang parkiran rame banget. Jadi lebih baik gue nunggu di sini daripada nambah sumpek di sana.
"Oy, Rhe."
Nggak tahu kapan datangnya, Abe tiba-tiba aja udah ada di depan gue.
"Jaket lo mana?" tanyanya.
"Ada di tas."
"Kenapa nggak lo pakek?"
Ini kenapa sih, hari ini orang-orang perhatian banget sama jaket gue. Hampir semua temen gue nanyain kenapa jaketnya nggak gue pakek lagi. padahal biasanya juga gue nggak pakek jaket.
"Nggak papa. Lagian juga gue udah sehat, nggak perlu pakek-"
Tiba-tiba Abe makein jaketnya ke gue, membuat gue diem nggak bisa gerak. Please, ini kenapa jadi kayak sinetron?
"Udah, jangan dilepas. Gue maksa soalnya."
Gue diam. Masih kaget sama perlakuan Abe yang bener-bener nggak terduga. Apalagi sekarang dia senyum. Manis banget senyumnya. Please, gue nggak mau ambyar.
"Itu Nobel udah dateng. Gue pergi dulu, Rhe. Bye." Abe senyum lagi kemudian berjalan masuk ke area parkir.
Hingga Nobel dan motornya udah ada di depan gue, efek perlakuan Abe tadi masih terasa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Average
Teen Fiction"How can I love you if I don't love who I am?" "Then you don't need to love me. It's enough if only I who love you." Rhea Aninditha, seorang gadis yang hanya sebatas rata-rata. Untuk menjadi 'lebih', dia terhalang oleh batas 'cukup'. Tentang Rhea ya...