Rhea.
Waktu Papa nggak sesibuk sekarang, setiap 3 bulan sekali gue selalu ikut beliau buat donor darah di PMI. Gue cuma nemenin aja, nggak ikut donor karna masih belum cukup umur.
Pernah waktu SMP gue ngeyel banget pengen donor darah, sampek gue mohon-mohon ke petugasnya.
"Rhea udah gede, Pa. Udah SMP."
Papa menggeleng sambil ketawa. "Belum boleh, Dek. Nanti kalau kamu udah 17 tahun baru boleh donor darah."
Gue kecewa waktu itu. Tapi akhirnya nurut dan berhenti ngambek karna pulangnya diajak mampir ke toko buku.
Sejak saat itu gue mananti-nanti umur 17 tahun. Kalau orang-orang menganggap 17 tahun itu spesial karna berarti mereka udah legal, udah bisa buat KTP dan SIM, bebas lah intinya. Gue menganggap 17 tahun spesial karna itu berarti gue bisa donor darah.
Sederhana banget impian gue waktu itu.
"Gue aja yang jaga photobooth. Gantian, lo udah jaga dari tadi pagi."
Gue merasa seneng waktu Addan—anggota devisi dokumentasi—bilang kayak gitu.
Pertama, karna gue emang udah capek bangetdari tadi pagi di sini. Udah panas-panasan, disuruh ngefotoin banyak orang. Sebenarnya gue fine-fine aja kalo disuruh foto-foto gitu, yang jadi masalah adalah orang-orang yang minta difotoin tapi rempong banget bikin gue panas luar dalam.
Untung gue sabar.
Kedua, karna gue mau donor darah. Yeay! Finally!
Jadi di hari kedua HUT sekolah ini ada banyak kegiatan, ada pensi, bazaar makanan dan buku, art exhibition, cek kesehatan gratis, sama ada donor darah. Dan rencananya gue hari ini mau donor darah untuk yang pertama kalinya.
"Kamu yakin mau, Rhe? Umur kamu belum 17 tahun, lho."
Gue sedang mengantri buat daftar jadi pendonor, nggak sengaja ketemu sama Nania yang lagi jaga di pos kesehatan.
"Tahun ini udah 17 tahun." Gue ngeyel.
Umur gue emang belum genap 17 tahun, masih sekitar 8 bulan lagi. Tapi nggak papa lah, yang penting tahun ini udah 17 tahun.
Setelah daftar gue disuruh nunggu sampai nama gue dipanggil. Sambil nunggu gue dikasih snack sama susu kedelai hangat. Lumayan lah, dapat gratisan.
Nggak lama kemudian nama gue dipanggil. Dengan percaya diri dan nggak ada rasa takut sedikitpun, gue menghampiri petugasnya.
Gue disuruh berbaring di ranjang, setelah itu mbak-mbak petugasnya mulai mentreatment tangan kiri gue. Nggak perlu dijelasin treatment yang gue maksud itu seperti apa, yang jelas setelah itu darah gue mengalir melewati selang bening menuju kantong yang ada di bawah mbak-mbaknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Average
Teen Fiction"How can I love you if I don't love who I am?" "Then you don't need to love me. It's enough if only I who love you." Rhea Aninditha, seorang gadis yang hanya sebatas rata-rata. Untuk menjadi 'lebih', dia terhalang oleh batas 'cukup'. Tentang Rhea ya...