"Tumben kamu minta jemput? Biasanya lebih milih naik angkot" tanya Mary meski masih setengah badan Jean yang masuk ke dalam mobil. Jean memutar bola matanya ke arah mamanya, kemudian menghela napas panjang setelah ia merasa telah duduk dengan nyaman.
"Sepertinya mulai hari ini, Mama harus antar jemput Jean," jawabnya sambil menutup pintu mobil setengah kasar karena pintu mobil setengah tua peninggalan almarhum ayahnya itu sudah agak susah ditutup rapat.
"Bisa kamu beritahu Mama penyebabnya?"
Wajah Jean menjadi tampak serius. Terlihat dari kedua alisnya yang sedikit berkerut. "Jean pikir, anak nakal itu hanya ada di sinetron, Ma. Ternyata di sekolah ini juga ada anak yang menakutkan,"
Mary tersentak mendengar kata 'menakutkan' yang diucapkan Jean. Ia menggeser sedikit posisi duduknya ke kiri agar dapat sepenuhnya menatap Jean. "Maksudmu, kamu di ganggu anak lain?"
"Ya begitulah, Ma. Jean cerita di rumah saja ya. Tidak enak kalau lama-lama di depan gerbang gini. Nanti disamperin Security lagi, dikira tamu,"
"Ah ya, baiklah. Tapi janji nanti cerita, ya,"
Jean hanya mengangguk. Sepanjang jalan, Mary mengemudi dengan diliputi rasa penasaran. Ia khawatir terjadi hal buruk pada putri bungsunya. "Apa kamu mau kita ngobrol sambil makan pizza?"
"Di rumah saja, Ma. Lagi pula kita harus berhemat. Tabungan Mama pasti tinggal sedikit setelah terkuras banyak untuk pendaftaran sekolah Jean,"
"Ya Ampun, Jean. Allah bakal ngasih mama rezeki makin banyak kalau bikin senang kamu dan kakakmu,"
Jean mengangkat bahunya seolah berkata "terserah". Mary tersenyum melihat ekspresi putrinya tersebut. Perlahan ia mengambil jalur kanan karena akan putar balik dalam 100 meter lagi. Tak jauh dari arah putar balik, terpampang papan besar bergambar seorang koki memegang seloyang american pizza, dengan beberapa kata berhuruf besar di bawah gambar koki, bertuliskan PIZZA HITS.
"1 Tuna melt, dan 2 blue ocean, ya Kak... Terima kasih...," ucap Jean pada waiters berseragam hitam-merah yang menghampiri mereka. Perempuan bersanggul kecil dan bertopi merah itu segera mengangguk dan tersenyum ramah, kemudian balik menuju kasir.
"Bagaimana tadi?" tanya Mary pada Jean tanpa membahas hal lain terlebih dahulu.
"Tadi Jean dicegat sama dua kakak kelas laki-laki, badannya besar dan satunya lagi kecil. Mereka maksa minta nomor Whattsapp. Jean bilang gak punya. Tapi mereka kira Jean bohong. Terus Jean dihadang. Gak boleh pulang,"
"Ya Tuhan... Nakal sekali mereka, lalu kamu teriak?"
"Belum, Ma. Tapi untung saja ada satu Kakak kelas lain yang mengelabuhi mereka sehingga Jean bisa lepas dan lari,"
Mary mendengus kesal. Kepalanya seakan mengeluarkan tanduk usai mendengar cerita putrinya. Ingin rasanya segera melabrak orang tua anak-anak nakal tersebut supaya dapat mendidik putra mereka dengan baik.
"Oh ya, Ma. Jean boleh ikut ekstrakurikuler pencak silat kan?"
Mary tiba-tiba tersedak. Ia tak percaya dengan apa yang didengarnya barusan. Jean si pendiam. Tiba-tiba ingin ikut pencak silat. Jangankan ia, almarhum suaminya pun pasti tak percaya dengan ucapan Jean. "Ekskul apa tadi?"
"Pencak silat, Ma. Biar Jean bisa menghadapi anak-anak nakal,"
Mary mengatupkan bibirnya. Ia tak tahu harus menjawab bagaimana untuk menolak permintaan Jean. Hingga sepuluh menit berlalu tanpa kelanjutan pembicaraan.
(Bersambung)...
KAMU SEDANG MEMBACA
The Drama Queen - Ketika Semua Menganggap Lemah
Teen FictionJean nyaris tak pernah dihargai oleh siapapun dalam semua pencapaiannya. Tapi Jean selalu berusaha menghibur hatinya sendiri, sehingga ia selalu menampilkan bahwa dirinya baik-baik saja meski seburuk apapun orang lain merendahkannya. Jean bisa saja...