Tidak Jean... Mama pasti akan penasaran bila kamu meminta uang untuk membeli susu dan lensa kontak. pikirnya. Jean menggeleng dan mengacak-acak rambut. Matanya mengitari seluruh ruangan untuk mencari-cari ide atau benda yang mungkin bisa ia jual, tapi nihil, semua barang yang ada sangat disayanginya, sehingga tak mungkin baginya untuk menjual barang-barang tersebut.
"Huuufffhhh...!" ia menghela napas panjang. Disandarkannya tubuh kecilnya ke sisi tembok. Mata Jean terpejam sebentar untuk menghirup wangi buah jeruk dari pengharum ruangan yang tergantung dibawah AC agar sedikit menyegarkan otaknya.
"Jeaaannn...!"
"Ah, ya Tuhan... Baru saja aku merasa sedikit tenang," Jean mengacak rambutnya sekali lagi, kemudian bergegas menuruni anak tangga sebelum suara mamanya mengguncangkan bangunan rumah serta segala perabotnya.
"Ada apa, Ma?" tanya Jean dengan napas setengah tersengal dan memegangi lututnya yang terasa sedikit gemetar.
"Kenapa kamu ngos-ngosan seperti habis dikejar ayam tetangga gitu?"
Jean hanya menggeleng pelan. Ia sudah biasa dengan sifat Mamanya yang lebih banyak menyalahkan daripada merasa bersalah. Mary mengernyitkan dahi, tapi kemudian menyodorkan sebuah amplop coklat persegi panjang yang ditujukan untuk Jean. "Dari Jata Press, Jean...,"
"Hah!"Mendengar kata Jata Press, Level detak jantung Jean naik beberapa tingkat lebih cepat. Ia langsung merebut amplop tersebut dari tangan Mary dan merobek sisi atasnya begitu saja. Matanya membulat ketika melihat beberapa lembar uang berwarna biru dan selembar kertas putih hasil print tulisan komputer.
"Waaah... Honor pertama Jean, Ma!" teriak Jean seraya memeluk Mary yang masih tampak tak percaya.
"Tulisan di koran kemarin?" ujar Mary tak kalah bahagia.
"Iya... Mama baca ini," jawab Jean sambil memberikan kertas tadi pada Mary. "Yeeeiii! Jean dapat bayaran. Yuhuuu!" Jean melonjak-lonjak, menari tak jelas dan terus berteriak girang sehingga tanpa ia sadari membuat Fibby kehilangan konsentrasi belajarnya.
"Ada apa, sih? Kenapa ramai sekali? Jean, kamu berisik tau gak?" tanya Fibby yang keluar dari kamarnya dengan perasaan dongkol.
"Fibby. Lihat ini, kamu pasti juga gak bakal percaya kalau adikmu dapat honor dari media cetak, sini-sini, kamu lihat, deh," sahut mama sembari menyodorkan selembar kertas yang tafi berada di dalam amplop.
"Yang benar?" Fibby mendekat pada Mary. Membaca dengan jeli setiap kata yang ada pada kertas yang dipegangnya. Memang pada kertas tersebut dituliskan bahwa yang dikirimkan adalah honor dari tulisan artikel Jean yang dicetak pada salah satu halaman koran Jatapos beberapa hari lalu.
"Dapat dua ratus ribu saja bangga," ujar Fibby setelah membaca nominal honor yang tertera. Jean berhenti melonjak-lonjak. Ucapan Fibby lagi-lagi menghempaskan perasaan bahagianya.
"Buat beli kuota juga sebentar dah habis. Ya kan, Ma?" ujar Fiby sekali lagi.
Mary melihat Jean terpaku. Kali ini ia merasa harus membela Jean daripada mengiyakan ucapan putri sulungnya. "Bukan kuota Fibby," sanggah Mary setengah melotot pada Fibby. "Jean, kamu harus membelikan sesuatu yang bisa kamu kenang di kemudian hari," Mery beralih memberi saran Jean. Jean menghela napas lega. Ia senang Mery berada di pihaknya. Dan ia merasa ucapan Mary memang benar, sehingga membuat keinginannya untuk membeli susu penggemuk badan dan lensa kontak terlintas lagi dalam pikirannya. Apa itu benda yang berarti dan penting? Batin Jean ragu antara ingin memberikan uangnya untuk Mary atau membeli barang yang ia inginkan.
(bersambung).. 🤗
KAMU SEDANG MEMBACA
The Drama Queen - Ketika Semua Menganggap Lemah
Ficção AdolescenteJean nyaris tak pernah dihargai oleh siapapun dalam semua pencapaiannya. Tapi Jean selalu berusaha menghibur hatinya sendiri, sehingga ia selalu menampilkan bahwa dirinya baik-baik saja meski seburuk apapun orang lain merendahkannya. Jean bisa saja...