[13] Lost Memories

945 139 3
                                    

Beberapa hari setelahnya.

Sialan, kemana si keparat itu pergi? Mungkin saja para Pemburu Iblis, Pillar, atau apalah itu, membawanya sekarang. Sial, kalau sudah begini, bagaimana aku bisa menemukannya?

Akaza mengacak surai red pinkish miliknya gusar. Dia benar-benar kehilangan jejak akan keberadaan gadis keparat yang dicarinya itu. Di sisi lain, sungguh, Akaza ingin menyerah saja. Tapi, dia tidak ingin kehilangan harga dirinya di depan Muzan hanya karena tidak dapat menemukan gadis keparat itu.

Mata dengan sclera kristal itu kemudian menatap langit malam yang begitu cerah, dipenuhi bintang. Dia menyadari ada banyak orang di sekitar sini yang mungkin cocok untuk dijadikan santapan. Tapi, Akaza nampak sama sekali tidak menunjukkan minat. Laki-laki itu merasa benar-benar frustasi, sampai nafsu makannya hilang.

“Kau nampak sedang kesal, Akaza. Tidak mencari manusia?”

Suara seorang laki-laki dewasa tiba-tiba menyahut, seolah mengerti akan isi pikiran Akaza. Dia kemudian menoleh ke arah sumber suara tersebut, seorang laki-laki dengan enam mata dan katana di pinggangnya. Akaza tahu jelas mengenai orang itu, Kokushibō, Uppermoon pertama.

“Aku sedang tidak ingin.” jawab Akaza singkat tanpa menatap Kokushibō. “Lalu, apa yang kau lakukan disini? Kau kelihatan kesal, atau kurang lebih cemas,” tanya Kokushibō lagi, kemudian melangkah mendekati Akaza. “Mungkin begitu. Tapi, aku tidak berpikir untuk menceritakan apa yang aku lakukan saat ini padamu,”

Lawan bicaranya tak merespon, hanya melontarkan tatapan datar ke arah langit malam yang dipenuhi bintang. Mungkin sebenarnya Kokushibō paham akan perkataan Akaza, tapi dia sendiri juga tidak memiliki keinginan supaya mendesak untuk tahu.

Hening menengahi keduanya yang sama-sama menatap langit malam selama beberapa saat. Sampai suara ledakan kembang api yang cukup keras terdengar, itu membuat Akaza sedikit kaget. Tapi, ekspresinya tetap tenang. “Memang ada festival atau semacamnya hari ini? Rasanya disini ramai sekali, tidak seperti biasanya,”

Kokushibō berpikir sejenak. “Entahlah. Mungkin begitu. Aku tidak mengingat tanggal-tanggal atau waktu festival. Lagipula, sudah ratusan tahun tidak pernah merayakannya,”

Akaza tidak merespon, kemudian kembali menatap gemuruh kembang api di langit. Kemudian, laki-laki itu melompat turun dari tebing yang tak terlalu terjal tempatnya ada sebelumnya. “Aku pergi dulu.” ucapnya, kurang lebih seperti salam perpisahan.

“Apa nafsu makan mu sudah kembali?” tanya Kokushibō. “Setidaknya perasaanku sudah agak lebih baik.”

Akaza kemudian berlalu, memasuki area perayaan festival itu.

Aku merasakan hawa keberadaan gadis keparat itu disana. Jangan berpikir bisa lari dariku, dasar bodoh.

_____________

Senja berganti malam. Cahaya kuning keemasan matahari seolah lenyap, digantikan oleh gelapnya malam.

Aoi baru saja selesai membersihkan dirinya. Dengan cepat gadis itu mengganti pakaian, mengingat beberapa pekerjaan yang harus diselesaikannya malam ini. Kurang lebih seperti mengawasi Setsu, Iblis yang tidak terbakar saat terkena matahari yang berhasil ditangkap.

Baginya, ini sedikit merepotkan. Tapi, karena dia sudah terbiasa untuk mengurus orang, mungkin tidak akan terlalu menjadi beban. Yang penting, Setsu tidak kembali jatuh ke pihak Iblis saja, karena ingatannya yang sama sekali hilang sangat mudah dipengaruhi. Itu sudah cukup. Dan itu pekerjaan Aoi. Dasar merepotkan. Kenapa Pillar itu tidak mengurusnya sendiri saja?

Untuk sekarang, Aoi hanya bisa pasrah. Gadis itu menghela napas pelan untuk menenangkan dirinya, menyusuri koridor setelah selesai berganti baju. Dia menuju ke kamar Setsu.

Sweet Nightmare | AkazaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang