[1] Blood on the Floor

2.8K 320 2
                                    

Air mataku mengalir, seolah beriringan dengan kesedihan yang terlarut.

Bodoh, air mata ini adalah hal paling bodoh yang pernah aku teteskan. Bagaimana bisa, bagaimana bisa? Kilas balik memori ku tentangnya kembali terputar dalam pikiran, seolah dia berusaha menghiburku dengan membawakan ku kembali ke masa lalu.

Aku tersenyum miris. Hei, Iblis bodoh, kukira kau membenciku selama ini.

________________

Wuush ...

Angin bertiup begitu kencang, membawakan hawa dingin yang menusuk kulit pada saat bersamaan. 

Seorang anak kecil--kiranya berusia delapan atau sembilan tahun--tengah melangkah seorang diri di tengah-tengah badai salju. Anak itu terhuyung hingga akhirnya jatuh, butuh waktu agak lama untuknya sampai kembali berdiri dan melangkah.

Dia terus melangkah walaupun kaki bergetar dan tubuhnya menggigil kedinginan, dari mulutnya muncul udara panas, seolah tak kenal menyerah. Tapi, kemudian, anak itu jatuh untuk kesekian kalinya.

Otou-san, Oka-san ...” lirihnya pelan. Dari nada suara dan ekspresi takutnya mungkin dapat disimpulkan bahwa anak itu memanggil orang tuanya untuk meminta bantuan, walaupun itu mustahil. Dia ada di tengah hutan dan saat ini badai salju sedang melanda, mana mungkin ada yang mau menolongnya.

Anak itu bangkit lagi, kemudian menaikkan syal yang dikenakannya hingga menutupi mulut, lalu melanjutkan langkahnya, tidak peduli walaupun badai salju yang menerjangnya semakin kencang. Beberapa kali dia memejamkan mata karena salju yang terbawa oleh badai.

Dingin yang memeluk seakan sirna ketika pandangannya menangkap sebuah desa yang terselimuti oleh salju, yang merupakan tempat tinggalnya. Anak itu tersenyum hangat, kemudian sesegera mungkin memasuki desa dengan langkah kecilnya.

Otou-san, Oka-san, aku pulang~!” ucapnya riang saat sudah berada di ambang pintu rumah, “Hari ini [Name] berhasil!”

Anak perempuan yang menyebut dirinya [Name] itu masih ada dalam posisi yang sama di ambang pintu selama beberapa detik, salju memasuki rumah, hingga akhirnya dia sadar bahwa tidak ada jawaban dari dalam. Kecewa, raut wajah [Name] berubah kesal, lalu dia melangkah memasuki rumah.

“Padahal Otou-san pasti akan senang kalau tahu aku berhasil hari ini,” gumamnya kesal seraya memanyunkan bibir, kemudian melangkah menuju kamar, dan membaringkan diri di atas futon.

Netra [e/c]nya mengerjap beberapa kali sambil memandangi langit-langit ruangan. [Name] menendang-nendang futon-nya kesal, “Huwaa! Seandainya mereka tidak pergi sekarang!” anak itu memaki, matanya yang berkaca-kaca nampak imut.

Cukup lelah karena berbicara dan sendiri, mata [Name] perlahan terasa berat, hingga rasa kantuk menyerang. Akhirnya, anak itu terlelap.

__________________

Siang berganti malam. Langit gelap, udara dingin menusuk kulit, tapi setidaknya badai salju yang tadi sempat menerjang sudah berhenti.

Kedua kelopak matanya terangkat, menampakkan sepasang netra [e/c]. Anak perempuan yang merupakan pemilik netra itu kemudian bangkit. Alisnya berkerut ketika menyadari sesuatu--berhubung indera penciumannya yang tajam--rasanya terdapat bau aneh, sumbernya mungkin masih ada dalam rumahnya.

Dia segera bangkit, kemudian melangkah menyusuri koridor rumah. Kakinya bergetar, keringat dingin bercucuran. Matanya membulat dan menampakkan ekspresi penuh ketakutan yang teramat sangat. Tapi, anak itu meneguk ludah dan membulatkan tekadnya, Tidak, tidak perlu khawatir. Bau darah ini cuma dari binatang. Itu mungkin saja terjadi, karena tempat ini tidak jauh dari hutan. Tenanglah, [Name] ...

Sampai akhirnya anak itu tiba di asal dari bau amis nan menyengat tersebut--ruang keluarga. Bau amis darah itu berasal dari ruang keluarga. Anak itu tidak berani untuk sekedar membuka matanya, tapi ...

Sebuah serangan mendarat di wajahnya, seseorang menerjang dan mencakar pipi kanan anak itu. Refleks dia membuka mata, dan yang ada di hadapannya, yang merupakan sumber dari bau amis itu--adalah monster, atau sejenisnya. Kalau dilihat dengan cermat, itu ... mungkin orang tuanya.

Yang menyerang pertama tadi adalah ayahnya, dan ada lagi yang di belakang, mungkin adalah ibunya. Jantung [Name] berdegup sangat kencang saking takutnya. Apa yang harus dia lakukan sekarang? Membunuh, atau membiarkan orang tuanya disini?

Terombang-ambing akan perasaannya, anak itu meneteskan air mata. Dia melangkah mundur hingga menabrak sudut ruangan, badannya yang melemas membuatnya jatuh berlutut. Sungguh, hati mungilnya tak sanggup melihat pemandangan mengerikan di hadapan mata.

Kalau dia membunuh kedua monster itu saat ini juga, dia akan kehilangan orang tuanya. Tapi, kalau dia tidak membunuh mereka saat ini juga, dia akan kehilangan nyawanya, dan tidak menutup kemungkinan bahwa orang tuanya akan membunuh manusia lagi setelah itu.

Artinya, bagaimanapun juga, pada akhirnya akan sama saja ada yang mati. Entah itu hanya [Name], atau orang tuanya saja, atau bahkan keduanya. Sama-sama pilihan yang buruk. Tapi, walaupun keduanya sama-sama buruk, manakah skenario yang terbaik di antara yang terburuk?

Tetap disini?

[Name] menggeleng.

Tidak, aku masih ingin tetap hidup!

Anak itu menyapukan pandangan, tidak peduli bahwa kedua makhluk berwujud monster itu sudah semakin mendekatinya. Ah, dia menemukan sebilah belati. Pertanyaannya sekarang, sanggupkah dia mengayunkan belati itu untuk membunuh monster yang pernah menjadi orang tuanya?

Dengan berat hati, sekalipun terombang-ambing oleh kesedihan, [Name] melesat cepat, mengambil belati itu, dan mengayunkannya ke leher mereka. Darah bercucuran di lantai, kepala keduanya berhasil terpenggal dan jatuh, sementara tubuh mereka secara bersamaan perlahan menghilang dan menjadi abu, menyisakan darah yang mengotori lantai.

Mata [Name] berkaca-kaca, kemudian meneteskan air mata yang membasahi wajahnya, menetes ke lantai yang ternodai darah. Rasa sesal terbesit dalam benak, sekalipun mungkin ini adalah yang terbaik, namun tetap saja, [Name] kehilangan orang tuanya, dan dia menghabisinya dengan kedua tangannya sendiri.

“Maafkan aku, Otou-san, Oka-san, aku pikir ini adalah keputusan terbaik yang bisa aku lakukan. Terima kasih atas jasa kalian selama ini, aku ... sangat ... menyayangi kalian ...” isak [Name] di sela-sela air matanya yang kian deras, seolah hanyut bersamaan dengan lara yang menyayat hati mungilnya.

Memang, mungkin itu yang terbaik bagi [Name] dan orang tuanya. Hanya bagi mereka.

Sweet Nightmare | AkazaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang