"Dia sudah datang.."
ujar umi dari balik pintu depan kamarku, aku memejamkan mata.
inilah saatnya. aku menarik napas, seharusnya aku sudah mengerti sejak awal kalau nasibku sudah ditentukan sejak aku lahir. Kita mungkin bisa memilih dengan siapa kita akan menikah tapi kita tidak bisa memilih pada siapa jatuh cinta.
Aku melangkah ke laci bawah mejaku, ku buka. Di situ di dalam kotak kaleng kecil yang terkunci tersembunyi di dalam laci, surat muzib yang ku simpan kini ku pandangi, kenapa aku selalu mengingatnya.
"Atikah Kamu sedang apa? dia sudah datang" ujar umi dari balik pintu
"iyah umi..sebentar" aku kembalikan lagi surat yang ku pegang itu ke dalam tempatnya
"Atikah" panggil umi kembali
"iya" jawabku, aku berdiri lalu melangkah ke luar kamar,diluar ibu memperhatikanku sejenak lalu tersenyum kepadaku
"ayo.." umi menggandeng tanganku. aku mengikutinya dengan menatap kebawah
"ini atikah" ujar umi begitu kami sampai di ambang ruang tamu.
ku edarkan pandanganku, abi duduk didekat seorang lelaki, disebelah laki-laki itu duduk seorang perempuan separuh baya berjilbab hitam."Ah mashyallah..cantik sekali"
perempuan tersebut langsung berdiri yang tak lain adalah ibunya dari lelaki, dia mengangkat kedua tangan dan menghampiriku, memegangi kedua bahuku dengan takjub lalu mencium kedua pipiku,aku menyambut dirinya dengan rikuh.
"ini ibunya Dimas"ujar umi padaku. Aku menyalaminya dan mencium tangannya.Aku mendengar lelaki yang duduk didekat ayahku bergumam
"ayo duduklah"ajaknya
Aku duduk disebelah Abi, ibu Dimas kembali ke kursinya tadi sementara umi duduk di kursi di sebelahku, aku tahu. Ada orang lain lagi di situ, tapi aku tidak berani memandanginya.
"Atikah suka membina santri-santri di sini,ya" tanya lelaki yang duduk disebelah abi, aku yakin dia adalah ayahnya Dimas,kalau tidak salah namanya pak Nurdin.
Aku mengganguk "sebenarnya tidak tepat membina aku hanya menyebarkan ilmu yang saya punya dan membantu Abi di disini"
"itu hebat,Atikah bisa membantu Abi-Mu di pesantren ini"
Kali ini semua orang memandang sosok lelaki yang duduk dikursi tengah,yang sedari tadi aku abaikan. tanpa tercegah aku ikut memandangnya. Laki-laki itu tersenyum simpul pada semua orang lalu padaku, dia menggangguk sopan. tersenyum, ada gambaran kebaikan yang lugu, kebaikan yang tidak mengenal kejahatan karena sedari kecil dia tidak pernah mengenal keburukan dia seperti seorang yang selalu menyambut dan menerima. dia sama sekali tidak sama dengan Muzib. aku melengos memandang Abi yang mengamatiku aku mencoba tersenyum, jika Abi mengiginkanku menikahi dengan lelaki ini, aku akan mengikuti apa yang jadi pilihanku.
Pernikahan bukan soal suka atau tidak melainkan soal membangun harapan. jika aku bisa membangun harapan bersama Dimas mengapa aku harus menolaknya. betapa lucunya jika aku terus-menerus mengharapkan seseorang yang telah hilang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Doa Dan Harapan
Teen Fictionaku tak berharap Akan aku dan Kamu bisa Bersatu Dan menjadi pelengkap agamaKu, Mungkinkah? Namun Aku hanya bisa Berdoa dan berusaha untuk bisa memilikiMu dalam Doa disetiap Sholat tahajudKu, Dan jika Memang DiriMu memang bukanlah Takdirku aku hanya...