Aleta mengembuskan napas lega ketika sudah berada di mobil. "Pak Joko, jalan, yuk," katanya pada sopir yang biasa mengantar jemputnya ke sekolah itu. "Oke, Dek," kata Pak Joko, lalu langsung menjalankan mobilnya menuju sekolah Aleta.
"Kata Bapak, Mas Zyan pulangnya lusa kenapa sekarang udah ada di rumah aja?" tanya Aleta.
"Mas Zyan memang bilangnya gitu, tapi katanya semalam ada yang harus diurus di Jakarta."
Aleta mengembuskan napas. Semoga kakaknya tidak banyak berulah seminggu ini, karena hari Sabtu ini Aleta harus mengikuti lomba paduan suara, mewakili sekolahnya. Sejak dulu Zyan tidak suka melihat Aleta yang menyukai seni, apalagi dunia musik. Sebisa mungkin dia menghalang-halangi Aleta untuk ikut les vokal dan segala hal yang berbau musik. Untungnya Aleta mempunyai Tante Laluna yang sangat mendukung jiwa seni Aleta dan memfasilitasi Aleta untuk les vokal.
Aleta lahir saat keadaan keluarganya sedang tidak baik. Mamanya meninggal saat Aleta berusia lima tahun. Aleta tidak terlalu ingat bagaimana mamanya, yang dia tahu saat itu suara mamanya begitu indah. Suara indah itu juga yang setiap malam menemaninya sebelum tidur. Setelah mamanya meninggal, Aleta tinggal bersama dengan Tante Laluna, adik mamanya. Namun, sejak SMA, papanya meminta Aleta untuk tinggal bersamanya, namun Aleta menolak. Dia tidak terlalu dekat dengan papanya. Bagi Aleta papanya menakutkan, dan hanya bisa marah-marah, mirip dengan Zyan, bedanya Zyan tidak kasar seperti papanya.
Akhirnya papanya memberi pilihan, Aleta tinggal bersamanya atau bersama dengan Zyan. Tentu saja Aleta memilih tinggal bersama dengan Zyan, setidaknya kakaknya bisa dibujuk dan tidak menyeramkan seperti papanya itu. Alasan Aleta harus kembali ke keluarga papanya adalah agar pendidikannya lebih terperhatikan. Karena selama ini papanya melihat nilai akademik Aleta biasa saja. Papanya juga salah satu orang yang sangat tidak ingin Aleta menjadi seorang penyanyi, atau menjadi apapun yang berhubungan dengan dunia musik.
Jujur Aleta merasa tertekan dengan semua tuntutan dari papa dan kakaknya itu. Namun, dia berusaha untuk tetap mengejar mimpinya, tentu saja dengan dibantu oleh Tante Lalunanya tersayang. Dia bertekad untuk menunjukkan pada kakak dan papanya kalau dia bisa menjadi seorang yang sukses pada bidang yang dicintainya itu.
*****
Zyan mengembuskan napas frustrasi, teringat adiknya yang tidak mudah diatur yang baru saja pergi dari hadapannya itu. Sejak memutuskan untuk menampung Aleta di rumahnya, Zyan sudah berusaha untuk mencegah Aleta meninggalkan semua yang berhubungan dengan musik. Tetapi, adiknya itu terlalu mencintai dunia musik. Saat tahu Aleta ikut ekstrakulikuler paduan suara, Zyan benar-benar marah. Dia bahkan membentak Aleta hingga adiknya itu menangis tersedu-sedu dan menolak untuk bicara padanya selama beberapa hari.
Akhirnya Zyan mengalah, karena saat itu Aleta juga melakukan aksi mogok makan. Menghadapi anak remaja, terlebih perempuan bukan hal yang mudah untuknya. Kadang Zyan merasa begitu lelah, namun dia tidak bisa melepas tanggung jawabnya kepada adik satu-satunya itu. Zyan tidak mau Aleta terpaksa tinggal bersama dengan ayahnya. Karena sama saja mengumpankan Aleta ke kandang singa.
Dulu sekali, Zyan membenci Aleta. Dia ingat saat itu usianya empat belas tahun, tahun terakhirnya di SMP. Saat itu semua channel televisi memuat berita tentang papanya yang punya anak dari salah satu penyanyi terkenal. Berita itu bagaikan petir di siang bolong untuk Zyan. Bagaimana bisa papanya memiliki anak dari perempuan yang bukan ibunya, apalagi saat itu kabarnya simpang siur, katanya mereka tidak menikah, ada juga yang mengatakan kalau papanya menikahi penyanyi itu secara sirih.
Ibu kandung Zyan yang mendengar berita itu langsung jatuh pingsan dan harus menjalani perawatan di rumah sakit. Zyan adalah saksi kesakitan mamanya. Harus melihat mamanya menangis setiap hari karena berita tentang papanya. Belum lagi Zyan yang menjadi bahan bully-an anak-anak di sekolahnya. Masa-masa sekolah yang harusnya membahagiakan berubah menjadi neraka untuk Zyan.
Zyan harus bertahan menghadapi berita-berita itu hingga surut. Namun, surutnya pemberitaan bukan berarti membuat lukanya juga sembuh, luka Zyan belum sembuh sama sekali. Enam tahun berlalu sejak berita perselingkuhan papanya tersebar luas, keluarganya kembali terguncang saat perempuan yang dinikahi secara sirih oleh papanya itu meninggal. Keluarga Zyan kembali diburu waratawan, saat itu dia sedang kuliah semester empat. Untungnya Zyan yang berusia dua puluh tahun sudah jauh lebih kuat.
Sejak mendengar kabar kalau papanya memiliki anak dari perempuan lain, Zyan tidak pernah bertemu dengan adik beda ibunya itu. Pertama kali dia bertemu dengan Aleta saat papanya mengajak anak itu ke rumah. Ibu Zyan tidak terima saat papanya mengatakan akan merawat dan membesarkan anak itu di rumahnya. Zyan juga merasakan hal yang sama, dia membenci anak itu. Anak yang menghancurkan masa kecilnya dan juga menghancurkan hati ibunya.
Jakarta 2010...
"Kamu mau aku membesarkan anak hasil hubungan haram kamu itu!" bentak seorang perempuan kepada suaminya yang tanpa rasa bersalah membawa anak dari hasil perselingkuhannya dengan wanita lain.
"Diva sudah meninggal, aku ayah dari anak ini. Apa kamu pikir aku akan menelantarkannya begitu saja?! Gila kamu!"
"Kamu yang gila! Mas! Kamu yang gila!" teriak perempuan itu. "Aku nggak sudi membesarkan dia!"
"Sekar!"
Perempuan bernama Sekar itu memandang suaminya. "Enam tahun yang lalu saat kamu ketahuan punya anak dari perempuan itu aku minta diceraikan. Tapi apa?! Kamu mati-matian nggak mau dan berjanji nggak akan berhubungan lagi. Dan sekarang setelah dia mati, kamu mau aku merawat anaknya?!" Sekar menggeleng-gelengkan kepala. "Nggak puas kamu nyakitin aku, Mas! Kenapa kamu nggak bunuh aku sekalian?!"
Petengkaran itu tidak sengaja didegarkan oleh anak laki-laki mereka yang baru saja pulang kuliah. Zyan menarik napas, lalu segera menjauh dari kamar kedua orangtuanya. Zyan merasa marah, dadanya terasa panas dan jantungnya berdetak lebih cepat. Bahkan setelah meninggal, perempuan itu masih juga menyakiti perasaan ibunya. Zyan menuruni tangga rumahnya, di ujung tangga, dia melihat seorang anak kecil sedang duduk sambil memeluk lututnya. Zyan mendengar isak tangis anak perempuan itu.
Zyan mendekatinya dan berdiri di depan anak itu. Aleta kecil mengangkat kepalanya dan menatap Zyan, wajahnya basah karena air mata. "Mama... mama..." isaknya.
Zyan menatap anak itu, ini adalah anak dari perempuan yang menghancurkan hidup dan keluarganya. Zyan mengabaikan anak itu dan berjalan ke halaman depan. Dia harus pergi, tidak mau mendengarkan perkelahian orangtuanya, Zyan sudah terlalu muak melihat hal semacam itu yang sering kali terjadi.
Saat Zyan mencari kunci mobil di saku celananya, dia melihat anak kecil itu mengikutinya. Keningnya berkerut saat melihat anak itu berhenti di dekatnya sambil menangis. Wajahnya basah penuh air mata, sedu sedannya terdengar begitu pilu. Zyan jadi tidak tega. "Kenapa kamu?"
Anak itu berbicara sambil menangis. "Mama..."
Zyan mengembuskan napas, dia berusaha mencari rasa benci yang selama ini dirasakannya. Namun hati kecilnya berbisik kalau ini bukan salah anak kecil ini, dia tidak minta dilahirkan seperti ini. Perlahan Zyan berjongkok di depan Aleta. "Mau es krim, nggak?" tanyanya.
Aleta menatapnya. "Mau Mama..."
Zyan mengembuskan napas. "Mas punyanya es krim, mau?"
Anak itu melebarkan tangannya, Zyan bingung. "Apa?"
"Gendong."
Zyan tersenyum sinis, kemudian membawa anak itu ke dalam gendongannya. "Ingus kamu, jangan sampai nempel di baju, Mas!" ucapnya tajam. Kemudian Aleta langsung mengelap ingusnya dengan punggung tangan.
Zyan mengerutkan kening. "Jorok," desisnya.
Aleta tersenyum, menampakkan gigi depannya yang ompong. Zyan tidak tahu kapan dia mulai menganggap Aleta sebagai adiknya, atau kapan rasa benci itu hilang dari hatinya. Mungkin sejak kali pertama bertatapan dengan Aleta, atau seiring berjalannya waktu, yang dia tahu, dia punya adik yang harus dijaganya.
******
Sampai ketemu Senin nanti
Happy reading...
KAMU SEDANG MEMBACA
Tentang Mimpi (BISA DIBACA DI GOOGLE PLAYBOOK)
RomanceKala dan Aleta, dua orang yang sama-sama mengidolakan Tulus. Keduanya memiliki cita-cita yang sama, yaitu menjadi seorang penyanyi. Sayangnya Kala tidak bisa mewujudkan itu karena telalu takut untuk menentang keputusan kedua orangtuanya yang menging...