Laluna duduk di salah satu coffee shop yang letaknya ada di depan tempat audisi, menunggu Aleta yang sedang berjuang di dalam sana. Semalam dia memberi tahu suaminya tentang apa yang akan dilakukannya bersama dengan Aleta. Bayu—suami Laluna—sebenarnya menentang rencana ini. "Kamu tahu kan kalau Mas Agung dan Zyan nggak suka kalau Aleta jadi penyanyi? Dengan kamu mendukung Aleta, kamu sama aja cari masalah, Luna!"
Luna tahu apa yang akan terjadi saat kedua laki-laki itu tahu kalau dia mendukung Aleta melakukan ini semua. "Aku tahu mereka pasti marah banget. Tapi, Mas Agung juga nggak bisa membuang bakat Aleta gitu aja dong? Nasib Diva jadi begini karena dia! Kalau nggak ketemu dia, kakakku mungkin masih hidup dan punya keluarga normal."
"Jadi kamu mau balas dendam? Dengan menggunakan Aleta?" tanya Bayu.
"Pemikiran kamu terlalu liar kalau mikir kayak gitu, Mas. Aku cuma mau Aleta menjadi dirinya sendiri. Aku nggak tega kalau dia harus mengubur mimpinya bahkan sebelum dia berjuang." Laluna akan membantu sebisanya, agar keponakannya itu bisa meraih apa yang memang menjadi impiannya. Setidaknya Aleta harus mencoba, kalau memang kelak dia gagal, maka dia yang memutuskan untuk terus berjuang atau menyerah. Laluna merasa bersalah jika mengabaikan mimpi Aleta begitu saja.
"Tanteee...."
Panggilan itu membuat Laluna menoleh, dia melihat Aleta yang tersenyum lebar. Laluna tahu apa arti senyuman itu, dia membuka kedua tangannya dan Aleta segera masuk ke pelukannya. "Good job, sayang. Tante tahu kamu bisa," ucapnya sambil mengusap punggung Aleta.
Setelah menceritakan semua yang terjadi di tempat audisi dengan antusias, keduanya memutuskan untuk pulang, apalagi Zyan sudah mengirimkan pesan pada Aleta, menanyakan kapan adiknya itu akan pulang. Menurut Aleta, Zyan seperti pacar yang overprotektif. "Kalau aku punya pacar, kira-kira gimana ya reaksi Mas Zyan?"
Laluna tertawa melihat wajah cemberut Aleta. "Ya paling kalau jalan sama dia, kamu diteleponin tiap lima menit."
"Mas Zyan ini kurang kerjaan banget deh."
"Dia tuh sayang sama kamu. Tapi kamu udah ada pacar, Al?" tanya Laluna yang sibuk menyetir. Dia tahu anak-anak seusia Aleta ini pasti mengalami cinta monyet. Dan dia harus tahu kalau Aleta dekat dengan seorang lelaki.
"Nggak ada. Nggak niat pacar-pacaran."
Laluna tersenyum. Aleta memang selalu fokus dengan apa yang diinginkan, sejak dulu. Itu kenapa Laluna tidak akan tega kalau Aleta harus mengubur mimpinya karena larangan papa dan kakaknya.
"Tante bisa nemenin kan untuk audisi selanjutnya?"
Laluna mengangguk. "Tante usahain. Kalau perlu Tante yang akan jadi manajer kamu."
"Uhhh... Tante baik banget. Makasih ya, Tan."
"Untuk kamu apa sih yang nggak?"
Aleta tersenyum cerah, dia bersyukur dari sekian banyak orang yang menentang impiannya ini, ada satu malaikat tak bersayap yang siap untuk menjadi pelindungnya.
******
Kala dan Ayumi memutuskan untuk menonton bioskop di hari libur ini. Tadi pagi Ayumi menjemputnya di kosan. Sebagai orang yang saat ini menyandang status setengah jomlo, hari libur seperti ini tidak boleh dihabiskan di rumah saja, karena yang akan terjadi adalah meratapi nasib sambil mengingat semua kenangan dengan calon mantan.
Calon mantan pacar, karena sampai sekarang belum ada kejelasan tentang hubungannya dengan Satria. Ayumi yang sibuk menyetir mobilnya, memperhatikan Kala yang lebih banyak diam, sesekali perempuan itu mengecek ponselnya. Sebagai orang yang cukup lama mengenal Kala, Ayumi tahu kalau Kala masih berharap Satria menghubunginya. Ayumi menyambungkan poselnya ke stereo mobil, namun bukan lagu yang diputarnya, melainkan Podcast—Rapot—episode Pacarku Majikanku.
Ayumi selalu senang mendengarkan celotehan empat sekawan ini, Reza, Anka, Radini dan Abigail. Dan dia tahu Kala juga sering mendengarkan podcast mereka. Saat mendengar apa yang sedang dibahas, Kala memandang Ayumi. "Sengaja banget milih episode ini? Padahal bisa milih yang lucu lho, BRK DCLN misalnya?" sindir Kala.
Ayumi tertawa. "Kenapa ngerasa kalau punya pacar lebih kayak majikan?"
"Nggak lah, Satria nggak parah kayak gitu." Kala kembali memandang keluar jendela. Sambil membatin kenapa perjalanan mereka ke Sency terasa begitu jauh.
"Ya udah deh, matiin nih. Sensi amat sih, Bu. Padahal ini buat lucu-lucuan aja, inget masa-masa bego gue dulu."
Kala kembali menoleh pada Ayumi. "Lo pernah kena kekerasan gini?"
Ayumi mengangguk. "Long time ago. Makanya gue milih sendiri, bukan karena gue nggak laku, secara ya gue cantik begini, gue masih trauma aja."
Ini adalah fakta baru yang diketahui Kala tentang Ayumi. Bagaimana bisa temannya yang ceria ini ternyata dulu pernah mengalami kekerasan.
"Dulu gue merasa apa yang dia lakukan ke gue itu wujud rasa sayang, tapi rasa sayang dia emang beda sama yang lain. Makanya gue bertahan. Tapi setelah gue ambil jarak dari dia, gue tahu kalau apa yang dia lakukin ke gue itu hal gila. Kalau sayang nggak mungkin mukul, kalau sayang nggak mungkin ngatur-ngatur nggak jelas, terus ngasih syarat ini itu yang nggak masuk akal," ceritanya.
Kala memilih diam. Dia sering mendengar cerita semacam ini, tetapi tidak menyangka kalau sabahatnya pernah mengalami hal menyakitkan ini. Ayumi menoleh pada Kala. "Lo butuh berpikir jernih dan mengerti maksud dari hubungan yang sehat, Kal. Kalau lo tertekan karena pasangan lo dan nggak berani mengungkapkan apa yang ada dalam hati lo, artinya hubungan itu nggak cukup sehat," ucapnya lagi, berharap Kala tidak salah langkah dalam mengambil keputusan.
******
Kala membuka pintu kosannya, dia berjalan pelan lalu duduk di ranjang. Setelah perbincangan di dalam mobil tadi, mereka berdua diam. Sampai tiba di Sency dan keduanya menuju ke bioskop, baik Ayumi dan Kala menghindari topik mengenai Satria. Untungnya film Bad Boys for Life cukup menghibur sehingga Kala bisa melupakan kegundahan hatinya. Tetapi itu tidak bertahan lama, setelah mereka keluar dari bisokop dan memutuskan untuk makan di Food Court Kala tidak bisa menahan diri, dia bingung harus melakukan apa.
"Gue bingung, di satu sisi, gue mau lepas dari Satria. Tapi di satu sisi gue takut akan dampaknya. Lo tahu kalau orangtua gue suka banget sama Satria. Terus umur gue udah mau dua puluh tujuh..."
Ayumi langsung memotong ucapan Kala. "Lo memilih terjebak dengan orang yang sama dia lo nggak bisa jadi diri sendiri karena umur?"
Kala malu mengakui kalau ucapan Ayumi itu benar. "Gue belum pernah mencoba sama orang lain."
Ayumi menjentikan jarinya. "Nah, itu poinnya. Lo nggak pernah nyoba deket sama yang lain, jadi lo nggak tahu hubungan yang baik dan sehat itu kayak apa."
Lagi-lagi ucapan Ayumi itu benar. "Lo takut nggak ada yang mau sama lo? Ya ampun Kal, lo masih dua puluh tujuh tahun. Gimana gue yang hampir tiga puluh? Dan siapa tahu setelah lepas dari dia lo dapet yang jauh-jauh lebih baik, kita nggak pernah tahu, Kal. Gue bukannya mau ngatur lo atau gimana ya, tapi sebagai sahabat yang baik, gue cuma bisa kasih saran, keputusan tetep ada di lo. Dan please Kal, lo bisa nggak sih mikirin apa yang lo mau? Apa yang bikin lo bahagia? Bukan atas dasar takut buat orangtua lo kecewa. Gue yakin orangtua lo bakalan sedih kalau anaknya nggak bahagia."
Ucapan Ayumi memang benar adanya, itu yang membuat Kala sepanjang perjalanan pulang hingga sekarang berpikir tentang hubungannya dengan Satria. Kala menarik napas dalam, jujur dia bingung sekali, namun dia juga tidak bisa membiarkan masalah ini berlarut-larut. Kala membuka ponselnya, sejak pembicaraan terakhir mereka, Satria tidak pernah lagi menghubunginya. Sama sekali. Dan ini sudah hampir berlangsung selama sebulan. Apa yang kamu harap?Bisik suara hatinya.
Kala membuka ruang obrolan dengan Satria, dia mengetikan sesuatu di sana. Tangannya gemetar saat ingin mengirimkan pesan itu. Namun, dia tidak boleh mundur, dia harus menyelesaikan semuanya. Kala memejamkan mata lalu menekan kirim kirim. Kemudian langsung memasukan ponselnya kembali ke dalam tas.
Kala : Kita udahan aja ya. Makasih untuk empat tahun ini.
******
BRK DCLN : salah satu episode di podcast rapot.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tentang Mimpi (BISA DIBACA DI GOOGLE PLAYBOOK)
RomanceKala dan Aleta, dua orang yang sama-sama mengidolakan Tulus. Keduanya memiliki cita-cita yang sama, yaitu menjadi seorang penyanyi. Sayangnya Kala tidak bisa mewujudkan itu karena telalu takut untuk menentang keputusan kedua orangtuanya yang menging...