Bagian 4

9.4K 1.4K 44
                                    


Oh... Tak akan lagi...

Ku menunggumu di depan pintu

Dan... Tak ada lagi tutur manisku merayumu...

Aleta ikut menyanyikan lagu Tulus yang di putarnya lewat Spotify di Macbook-nya. Dia sendiri berbaring di atas ranjang, sambil melihat-lihat Instagram penyanyi idolanya itu. Tidak lama kemudian terdengar suara pintu kamarnya dibuka kemudian mematikan suara Tulus di Macbook-nya. Aleta langsung duduk di atas ranjang dan memandang kakaknya yang masuk ke kamarnya begitu saja. "Mas harusnya ngetuk pintu dulu!" katanya sinis.

Zyan mengabaikan ucapan adiknya itu. "Pulang jam berapa kamu?" tanya Zyan tak sabar.

"Jam lima."

"Ngapain aja pulang sampe jam lima?"

"Kan Aleta udah bilang kalau hari ini ada latihan padus."

Zyan mengembuskan napas frustrasi. "Mas kan udah bilang kalau kamu nggak perlu ikut ekskul itu."

"Kenapa sih, Mas? Sensi banget sama musik. Ada salah apa sih, musik sama Mas?"

"Kamu harus fokus sekolah, ingat nilai rapor kamu semester lalu, Aleta. Gimana kamu mau diterima diperguruan tinggi yang bagus kalau nilai kamu begitu."

"Nilai kesenian aku bagus. Dan aku masih bisa masuk universitas bagus. I promise."

"Dengan ngambil jurusan musik?" tanya Zyan dengan nada meremahkan.

"Of course."

"You wish! Kamu harus kuliah normal. Dan Mas mau nilai kamu meningkat semester ini. Kalau perlu kamu ikut bimbingan belajar lagi." Setelah mengatakan itu Zyan langsung keluar dari kamar adiknya begitu saja. Aleta mengembuskan napas frustrasi. Dia benar-benar tidak habis pikir dengan kakaknya ini. Dia punya bakat di bidang seni, terutama musik. Dan di usianya yang belum genap tujuh belas tahun Aleta sudah tahu apa yang diinginkan. Aleta tidak pusing seperti banyak temannya yang masih mencari jati diri dan cita-cita. Dia tahu jelas apa yang dia mau. Tetapi, masalahnya dia tidak mendapat dukungan dari orang terdekatnya. Aleta teringat percapakannya dengan Kak Mia, pelatih padusnya minggu lalu.

"Al, Kakak dapet bocoran kalau audisi Voice 3 akan diadakan beberapa bulan lagi. Kamu mau ikut?" tanya Mia. 

Voice adalah nama program pencarian bakat menyanyi, dan di dua season sebelumnya telah melahirkan para penyanyi hebat. Aleta sendiri selalu mengikuti acara itu di televisi, bahkan di beberapa kesempatan banyak penyanyi favoritnya yang menjadi bintang tamu di acara itu. Dia selalu membayangkan kalau dirinya bisa berada di panggung Voice, kemudian Tulus menjadi bintang tamunya, kemudian mereka berduet menyanyikan lagu Tulus. Ah, itu benar-benar mimpi yang berusaha untuk diwujudkannya.

Aleta memandang pelatihnya dengan mata berbinar. "Beneran, Kak?"

Mia mengangguk. "Kakak kan ada temen yang kerja di sana, jadi dapet bocorannya. Kalau kamu mau ikutan, nanti Kakak bantu kirimin data diri kamu."

"Ya ampun Kak, makasih banyak ya, Kak."

Aleta mengembuskan napas. Bagaimana bisa dia mengikuti audisi kalau kakaknya yang super menyebalkan itu pasti tidak akan memberikannya izin. Namun, Aleta harus mencari cara agar bisa ikut audisi tersebut. Sebentar lagi dia tujuh belas tahun, secara hukum dia sudah dianggap dewasa dan bisa memutuskan yang menyangkut dirinya sendiri. Aleta ingin menjadi penyanyi seperti ibunya, dan dia tidak akan menyia-nyiakan kesempatan itu.

*****

Kala melirik jam tangannya, entah sudah berapa kali. Jam sudah menunjukkan pukul delapan lewat sepuluh menit, minuman yang dipesannya sudah hampir habis, namun orang yang ditunggunya belum juga datang. Kala mengeluarkan ponselnya, mengecek pesan ataupun panggilan di sana, tidak ada sama sekali. Untuk kesekian kali Kala mencoba menghubungi Satria namun panggilannya tidak diangkat.

Tadi siang, Satria mengajaknya untuk bertemu di kafe ini pukul tujuh malam, namun sudah satu jam lebih menunggu, Satria belum juga datang. Kala memanggil pelayan dan kembali memesan minuman lagi.

Bukan kali pertama Satria seperti ini, membiarkan Kala menunggu. Kadang, dirinya merasa kesal dan ingin pergi, namun Kala menahan diri, dia tidak mau memancing keributan. "Sori, Yang, tadi ada meeting penting," kata Satria yang baru datang dan menarik kursi di depan Kala.

Kala memandang raut wajah kekasihnya itu, wajahnya kusut, begitu juga pakaian yang dia kenakan. Kekesalan yang tadi dirasakannya langsung menguap begitu melihat wajah lelah Satria, berganti dengan rasa iba. "Minum dulu." Kala menggeserkan gelas minumannya pada Satria.

Satria langsung menegak isi gelas itu hingga setengah. "Udah lama, ya?" tanya Satria.

"Itu minuman kedua yang aku pesan."

"Maaf banget ya, tadi ada meeting, terus nunggu keretanya juga agak lama. Jadi..."

"That's okay. Kamu mau makan apa?" potong Kala, lalu ia memanggil pelayan dan meminta buku menu.

"Ginilah kalau kerja di perusahaan yang bonafit dan di tempatkan di bagian yang paling sibuk, Yang," kata Satria sambil membuka-buka buku menu.

"Aku juga harus meriksa tugas anak muridku," gumam Kala.

Satria langsung mengangkat kepalanya dan menatap Kala. "Kamu tahu kan kalau kerjaan aku ini bukan hal yang remeh?"

Kala mengembuskan napas, lalu menatap wajah kekasihnya itu. "Aku nggak bilang kerjaan kamu remeh, Sat."

"Udahlah, nggak usah dibahas." Satria kembali melihat-lihat buku menu dan memanggil pelayan untuk memesan makanan. "Kamu udah daftar untuk test CPNS?" tanya Satria begitu pelayan berlalu dari hadapan mereka.

Kala mengangguk. "Tinggal nunggu lolos atau nggak."

"Kamu pasti lolos ditahap administrasi, Yang. Dan kamu harus lolos pada test-test selanjutnya." Satria membuka tas ranselnya dan mengeluarkan sesuatu dari dalam sana. "Ini buat kamu. Kamu harus belajar giat. Aku nggak bisa nemenin kamu belajar karena harus kerja."

Kala melihat dua buah buku yang memuat soal-soal untuk test CPNS, bibirnya tertarik membentuk senyuman. "Makasih, Sat."

Satria mengangguk. "Kamu harus lulus kali ini. Setelah kamu lulus dan selesai Diklatsar, kita nikah, ya," ucap Satria sambil menggenggam tangan Kala.

Kala memandang kekasihnya itu. "Ini lamaran?" tanyanya.

Satria tersenyum lalu menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Nggak romantis, ya?"

Kala tertawa. "Romantis kan bukan kamu banget."

Satria tertawa. "Harus lulus ya, Yang."

Kala mengangguk. "Doain ya."

"Pasti."

*****


Diklatsar : Pendidikan dan Latihan Dasar

Tentang Mimpi (BISA DIBACA DI GOOGLE PLAYBOOK)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang