Pepatah berbunyi sepandai-pandainya tupai melompat, pasti akan jatuh juga, atau serapi apapun bangkai disimpan akan tercium baunya juga mungkin menggambarkan apa yang terjadi pada Aleta. Dia sudah merencanakan semuanya dengan rapi, bahkan beberapa jam yang lalu dia merasa semesta mendukungnya. Namun, ternyata dugaannya salah, kebohongannya terbongkar dan Zyan marah besar. Lebih parah dari itu, dia melibatkan dua orang yang seharusnya tidak perlu terseret ke dalam masalah ini. Laluna dan Kala, harus menghadapi Zyan yang murka sementara dirinya, tidak bisa melakukan apa-apa.
Kebahagiaannya karena lolos ke babak selanjutnya langsung lenyap saat melihat wajah penuh kekhawatiran Laluna. Saat tantenya itu mengatakan dia harus pulang karena Zyan menunggu, kelebat bayang-bayang mengerikan langsung tersusun di otaknya. Sepanjang perjalanan pulang bersama Laluna, tidak ada yang bersuara. Padahal saat pergi menuju lokasi audisi tadi, Aleta diselimuti kegembiraan, dia bahkan bernyanyi dan tertawa bersama Laluna. Namun, kini yang ada hanyalah keheningan.
Mimpinya untuk menjadi penyanyi yang ia kira bisa terwujud sebentar lagi, langsung runtuh. Zyan sudah tahu, dan kakaknya itu tidak akan pernah mengizinkannya untuk melanjutkan audisi. Dia bahkan belum bisa menunjukkan kemampuan terbaiknya. Lalu Aleta teringat Kala, jelas gurunya itu tidak bersalah dalam hal ini. Tetapi Zyan pasti akan tetap menyalahkan Kala.
Benar saja sesampainya di rumah, Aleta melihat Kala yang sedang bersitegang dengan kakak laki-lakinya. Seketika rasa bersalah langsung merayapinya, apalagi saat dia tidak bisa membela Kala dan Laluna.
"Masuk kamar kamu," ucap Zyan saat Aleta sudah sampai di rumah.
"Mas, aku bisa jelasin."
"Masuk ke kamar!"
Aleta memilih menunggu di dekat kamar Zyan alih-alih kembali ke kamarnya. Menit demi menit terasa lebih lama, dia ingin mendengarkan percakapan mereka, namun Aleta tahu hal itu malah akan membuat Zyan semakin murka. Akhirnya setelah lima belas menit menunggu, Zyan berjalan menuju kamarnya. Mata mereka berdua berpandangan. Zyan menatapnya dengan tatapan penuh kemarahan. "Mas mau ngomong sama kamu, tapi nggak sekarang."
Aleta mengembuskan napas. "Sekarang aja, aku yang salah. Bu Kala sama Tante Luna nggak salah. Mas nggak perlu marah sama mereka. Kalau mau marah ya sama aku."
"Mas kecewa sama kamu." Zyan berjalan melewati Aleta dan menutup pintu kamarnya. Aleta semakin frustrasi, tidak ada pilihan bagi Aleta, selain kembali ke kamarnya.
Aleta membaringkan tubuhnya ke ranjang, lalu mengecek ponselnya. Dia mencoba menghubungi Kala, namun panggilan itu tidak dijawab. Tidak lama kemudian, ada panggilan masuk dari Laluna. Aleta langsung mengangkat panggilan itu. "Tante gimana?"
"Tante nggak papa, ini lagi di jalan pulang. Kamu yang tenang, ya. Jangan ganggu Zyan dulu, dia lagi emosi banget."
Aleta menghela napas. "Mas Zyan nggak mau ngomong sama aku."
"Dia butuh waktu untuk menenangkan diri. Kamu juga lebih baik istirahat," saran tantenya.
Jujur Aleta memang lelah, namun dia tidak bisa tenang dengan keadaan ini. "Bu Kala nggak angkat telepon aku, Tan. Aku takut Bu Kala marah sama aku karena sikap Mas Zyan." "Mungkin dia lagi di jalan. Kamu yang tenang dulu. Makan dulu aja, Al. Kamu kan belum makan."
Makan adalah hal terakhir yang dipikirkan oleh Aleta. Sebelum masalah ini muncul dia memang merasa lapar, di kepalanya sudah tersusun rencana, kalau dia dan Laluna akan makan Lasagna di restoran favoritnya, namun saat ini nafsu makannya hilang entah ke mana. "Ya udah, Tante hati-hati ya, nyetirnya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Tentang Mimpi (BISA DIBACA DI GOOGLE PLAYBOOK)
RomanceKala dan Aleta, dua orang yang sama-sama mengidolakan Tulus. Keduanya memiliki cita-cita yang sama, yaitu menjadi seorang penyanyi. Sayangnya Kala tidak bisa mewujudkan itu karena telalu takut untuk menentang keputusan kedua orangtuanya yang menging...