Bagian - 2

10 1 0
                                    

Aku mengganti bajuku karena gerah. Hanya bajuku. Aku lalu berjalan menuruni tangga dan melihat ibuku yang sedang duduk dibelakang pintu, dia sedang memakai sepatu.

"Loh, mau kemana? Bukannya nanti sore?" tanyaku.

"Sore? Memangnya belum lapar? Da.. Dan... Kenapa pakai baju lama itu? Bukannya sudah ku bilang untuk membuangnya?" kata ibu marah.

"Tapi cuma baju ini yang aku suka. Entah kenapa aku jadi percaya diri jika memakainya. Tapi jika kau ingin aku memakai baju lain, mungkin kau bisa membelikan-ku yang baru, tapi dengan desain yang sama." ucapku sambil tersenyum menggoda ibu.

"K.. Kau ini. Sebenarnya apa yang membuatmu menyukai gambar itu? Aku tidak mengerti bagaimana otakmu bekerja." kata ibu sambil memetetkan matanya.

"Tu.. Tunggu dulu, jangan-jangan tembok diatas mau kau tempeli gambar itu?" kata ibu sambil mengangkat alisnya.

"Tempeli? Enggak dong! Aku cuma mau... Menggambarnya, hehe..."

Ibu menggelengkan kepalanya. "Lagi? Di kamarmu yang dulu atapnya kau gambar matahari, pintunya juga. Semua bukumu sampulnya gambar matahari, memangnya apa bagusnya?" tanya ibu.

Aku memang menyukai matahari sejak kecil. Entah kenapa aku sentimental terhadap figur matahari. Sejak kecil aku gemar sekali menggambar, bahkan belakang buku pelajaranku aku isi dengan gambar, dan hampir semua dari gambar itu adalah gambar matahari. Aku bahkan pernah mencuri sebatang krayon berwarna kuning dari temanku dan mencoret-coret dinding disekolah dengan gambar matahari sampai krayon itu habis. Waktu itu aku masih kecil, sih.

"Pffft, ibu sama seperti orang lain saja. Kenapa orang lain tidak bisa menghargai selera orang yang berbeda? Lagipula yang lebih penting sekarang, ibu mau pergi kemana?" tanyaku.

"Tentu saja membeli makan. Kita belum makan sejak pagi tadi dan persediaan makanan hampir habis, lagipula pekerjaanku disini sudah beres, aku juga mau keluar untuk mencari sedikit udara." kata ibu sambil berdiri. "Kau mau ikut?"

"Tentu saja... Tidak." kataku sambil tersenyum dan berbalik pergi.

"Terserah kau saja." ibu lalu menutup pintu dan pergi.

Waktu itu aku menunggu ibu sambil tiduran di sofa ruang tamu. Saat itu TV dan kulkas belum terpasang, ibu berkata dia tidak tahu cara memasangnya, ibuku itu terkadang memang suka begitu, dia sering menyerah sebelum mencoba.
"Bosan.. Bosan.. Bosaaaaan!" teriakku dalam hati. Aku melihat ke arah jam dinding dan menghela nafas. "Hampir jam lima... Katanya mau jalan-jalan... Sebenarnya kemana betina itu pergi..."

Ibuku lalu datang dari bawah sofa dan berteriak dengan keras, membuatku terkejut dan berteriak kaget. Aku hampir saja menendang kepalanya karena kaget tidak terkira.

"Apa yang kau katakan barusan? Darimana kau belajar bahasa seperti itu?" kata ibu sambil menekankan kepalan tangannya ke kepalaku.

"A.. A.. Ampuni aku..." kataku sambil mencoba menarik tangannya menjauh dari kepalaku.

"Kau ini... Akan kulaporkan kepada nenek jika kau bertingkah seperti ini lagi."

"Ja.. Jangan dong! Dia kan sudah tua, jangan membuatnya cemas dengan hal seperti itu. Lagipula darimana kau datang? Aku tidak mendengar suara pintu depan terbuka." tanyaku.

Ibuku lalu berdiri dan memeriksa kantung plastik yang dibawanya. "Pagar belakang rumah sudah hancur. Pintu belakangnya juga tidak ada kuncinya. Kau harus membetulkannya nanti. Aku heran kenapa kakek membiarkannya seperti itu."

Ibu lalu menaruh minuman soda botol dan satu bungkus kue brownies dimeja. "Jangan dimakan dulu, atau perutmu buncit." kata ibu sambil berdiri dan pergi kedapur.

"Licik sekali betina itu..." kataku dalam hati. "Dia meninggalkan gadis tidak bersalah dirumah dengan keadaan perutnya yang kosong dan pintu belakang yang rusak. Lalu datang kembali dengan makanan dan melarangnya untuk makan..."

Perutku yang berisik kelaparan melihat brownies-brownies lezat itu dengan tajam. Cacing-cacing diperutku berkoar-koar dengan hebatnya seperti sedang berdemo. Aku lalu duduk sila dengan posisi lotus di sofa. Aku merapatkan kedua tanganku dan menarik nafas panjang.

"Akan ku terima persembahanmu. Akan ku ampuni kesalahan dan dosamu karena telah menyakiti si anak matahari. Sehabis ini akan kuijinkan kau berlutut dan menciumi kakiku."

Aku lalu membuka dan memakan brownies-brownies itu dengan cepat. Dengan hebatnya mulutku menelan kue-kue empuk itu tanpa banyak mengunyahnya. Lalu sampailah aku di benang merahnya, browniesnya hanya tersisa satu.

"Haus sekali... Ketahuilah, memakan makanan kering tanpa minuman itu bagaikan memakan nasi dengan sedotan... Ya, sangat tidak berguna."

Aku memang suka mengoceh sendiri saat sepi. Itu juga merupakan kebiasaan anehku sejak kecil, tapi aku bangga dengan keanehan-keanehan itu karena itulah yang mendefinisikan diriku.

Aku lalu mencoba untuk membawa botol minuman soda itu dengan kedua kaki-ku karena malas untuk bergerak. Aku menjepit botol itu dan menariknya.

"Akhirnya, kesengsaraan duniawi keturunan sang matahari akan sirna. Tu.. Tunggu dulu, dia tidak membawa gelas? Karena dia ada di dapur dan aku akan terciduk jika aku membawa gelas disana, aku akan meleguknya secara langsung." ucapku sambil membuka tutup botol itu dengan susah payah.

Tubuhku memang terlihat kurus, tapi sebenarnya aku adalah orang yang rakus kepada makanan. Aku selalu makan dengan porsi yang berbeda dengan orang lain, aku bahkan orang yang paling terkenal di kantin sekolah karena sering bolak-balik kesana.
Dengan payahnya aku hampir meneguk habis minuman soda itu.

Meskipun botolnya lumayan besar aku berhasil meneguk soda itu setengahnya. Setelah perutku lumayan terisi, terdengar suara mesin dan bor didalam kepalaku, tanda otakku mulai bekerja dengan normal.

Aku melihat ke meja dengan takjub, dan jujur saja, takut. Aku menghabiskan semua makanan yang dibeli ibu. Ibu memang pergi ke dapur untuk memasak sesuatu karena aku lihat tadi ada kantung plastik yang berisi makanan lain untuk ditambah nasi, tapi aku tidak mendengar ada suara orang memasak dari tadi.

"Sialan... Kenapa aku menghabiskannya? Gimana kalo ibu marah?" ucapku dalam hati. "Lagipula dia sedang ngapain di dapur? Kok gak ada suara sama sekali?" lanjutku sambil beranjak dari sofa dan berjalan ke dapur.

Aku menengok ke dapur dari lubang pintu, tapi tidak ada siapapun disana. "Apa? Kemana dia pergi? Dia bahkan belum memasak apapun untukku!" gumamku.

Aku melihat sebuah kayu kotak yang tergeletak di lantai di ujung dapur dengan sekilas, aku tidak memperdulikannya dan berjalan ke lantai atas dengan kesal. Aku menaiki tangga dengan langkah yang ditegaskan sehingga menimbulkan suara benturan yang keras, lalu aku mengetuk pintu kamar ibu. Pintu kamar itu terbuka dengan sendirinya.

Tidak ada ibuku disana, kamarnya tidak dikunci dan terlihat rapih. "Lah? Dia kemana?" tanyaku dalam hati bingung.

"Kalau begitu jangan salahkan aku kalau makanan di meja habis! Kau tidak memberiku makan!" teriakku, aku tahu ibu pasti masih ada didalam rumah.

••••

Maval FolsterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang