Bagian - 4

4 1 0
                                    

Waktu itu aku sudah bersiap-siap untuk pergi keluar bersama ibu. Sebenarnya aku ingin pergi menggunakan kaos kesukaanku yang bergambar matahari itu, sayangnya kaos itu kotor karena debu.

Karena tadi aku sudah makan bersama ibu, aku tidak perlu membawa uang lebih untuk membeli makanan. Aku memakai jaket hitam, celana hitam dan kaos kaki hitam. Meskipun aku menyukai matahari, hitam adalah warna favoritku.

Aku menuruni tangga dengan agak cepat. Aku melihat ibu sedang berdiri di ruang tengah, dia memakai syal dan jaket coklat yang tebal. Dia tidak pernah memakai make up apapun diwajahnya, dia selalu berpenampilan natural, karena menurutnya penampilan tidak penting lagi baginya karena orang yang berhak menikmati kecantikannya sudah meninggal.

"Kok pake syal? Dan kenapa pakai jaket yang tebal itu? Memangnya diluar sedingin itu?" tanyaku.

"Emang kamu tidak tahu? Jika musim hujan kota ini akan jadi sangat dingin. Mungkin karena tempat ini tidak terlalu jauh dengan laut dan banyak hutan. Kau juga lebih baik memakai sapu tangan." kata ibu, aku memang bisa merasakan dinginnya kota ini meskipun dalam rumah, sekarang saja bahkan aku bisa merasakan dingin meskipun masih biasa saja.

"Tidak usah. Lagipula aku sudah memakai jaket, semuanya akan baik-baik saja bagiku." kataku sambil berjalan ke arah rak sepatu dan memakai sepatuku disana.

Kami lalu berangkat pergi. Ibu mengunci pintu rumah dan memasukannya ke dalam saku. Dia lalu berjalan mendahului.

Suasana tempat itu sangat menakjubkan. Selama ini aku tidak pernah keluar rumah dan hanya menengok dari jendela, ini pertama kalinya aku keluar dari rumah di malam hari. Banyak lampu yang terang diberbagai rumah tetanggaku. Jalan itu terlihat sangat sepi, hanya ada satu atau dua orang saja yang lewat.

Karena tempat itu indah dan tenang kami melambatkan langkah kami. Sebenarnya ada beberapa toko disini, hanya saja itu adalah toko barang-barang dan toko jasa perbaikan.

Aku menggosok-gosokan kedua telapak tanganku karena dingin. "Apa kau pernah pergi ke taman itu?" tanyaku.

"Taman mana? Kita tidak akan pergi ke taman. Kita akan pergi ke dekat taman, disana banyak toko." balas ibu, matanya berbelok-belok mengamati bangunan-bangunan sekitar.

"Ya berarti kau sudah pergi kesana kan?"

"Sudah, tapi sekarang kita gak akan pergi kesana."

Aku terdiam sejenak dan mengerutkan alisku.

"Maksudnya gimana? Kok aku jadi gak ngerti?" tanyaku.

"Maksudnya kita hanya akan pergi ke dekat taman saja, gak bakalan ke tamannya."

"Tadikan itu yang kubilang!"

"Bilang? Bilang apa? Kok sekarang aku yang jadi bingung?"

Kami berdua menepuk jidat.

Aku heran dengan tempat ini yang begitu sepi. Aku melihat jam tanganku, masih jam tujuh. Meskipun di siang hari tempat ini tidak terlalu banyak orang, itulah kata ibuku. Katanya penduduk disini masih sedikit dan tidak banyak turis datang kesini, meskipun menurutku tempatnya lumayan indah.

"Kata bi Annete tempat ini jarang ada penjahat, disini tempatnya sepi dan gak banyak aktivitas. Tapi kamu harus tetap hati-hati, kalo mau pergi keluar rumah lebih baik dengan temanmu atau jangan jauh-jauh." kata ibu.

"Menurutku sama saja. Mau pergi beramai-ramaipun kalo penjahatnya lebih tua tidak ada gunanya. Bahkan sekarang saja kita sangat beresiko untuk dijahati meskipun ibu adalah orang tua, ya kan?" balasku.

"Iya, tapi setidaknya kita berdua yang akan jadi korban. Jika kau sendiri yang diculik dan dijahati ibu akan sedih, dan mungkin akan bunuh diri." kata ibu sambil tersenyum kepadaku.

Maval FolsterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang