Bagian - 9

0 0 0
                                    

Waktu itu sudah jam sembilan lebih dua puluh, kami masih berada dirumah sakit bersama miss Annete yang sedang menangis. Inspektur gendut itu sudah pergi dari tadi, dia hanya mengoceh dan menakut-nakuti kami sehingga membuat miss Annete seperti itu.

"Pergilah ke program perlindungan itu, biarkan Adele bersama kami." kata ibu, miss Annete menutup matanya dengan kedua tangan dan menangis lirih.

"A.. Aku tidak ingin pembunuh itu pergi kerumahmu untuk mencariku. Bagaimanapun juga kau pegawai yang mamakai seragam sama denganku." kata miss Annete sambil mengusap ingusnya dengan tangan. Ini pertama kalinya aku merasa kasihan kepadanya, biasanya dia sangat menyebalkan dan membosankan.

"Apa? Tidak mungkin ya kan, lagipula bukankah lebih baik begitu daripada kau dirumah bersama Adele dan membahayakan nyawanya bersamamu?" kata ibu.

Waktu itu mereka terus berdiskusi dan mengabaikanku. Sebenarnya mereka berdiskusi beberapa jam yang lalu, mereka terus mengulang diskusi yang sama kembali sehingga membuatku bosan dan pegal.

"Terus saja mengobrol sampai mulut kribo." kataku dalam hati kesal. "Sudah telat bagiku untuk pergi ketaman sekarang, aku rasa Mono akan marah, aku juga tidak terlalu yakin dia akan menepati janjinya untuk pergi ke taman itu."

Aku melihat jam diponselku, sudah hampir jam sepuluh. Beberapa saat yang terasa sangat lamapun berlalu, miss Annete lalu memanggilku.

"Oh iya Maval, bagaimana menurutmu baju yang aku berikan kepadamu?" tanya Miss Annete, dia sudah terlihat baikan sekarang.

Aku menengok ke arahnya. "Ba.. Bagus, aku sangat menyukainya, terimakasih." kataku sambil tersenyum terpaksa, aku yakin dia tahu senyuman itu.

Miss Annete tertawa. "Sudah kuduga kau akan menyukainya. Ibumu memberiku foto-fotomu, dia juga bilang  kalau kau sangat menyukai gambar matahari. Kau tahu, kau selalu memakai baju yang sama kemanapun kau pergi beberapa tahun yang lalu, aku heran kenapa baju itu masih muat dan kau tidak membuangnya. Untuk itulah aku memberikanmu baju itu."

Aku melirik kesal kepada ibu, ternyata dia biang keladinya. Aku lalu berdiri dan berjalan ke arah miss Annete. "Ini baju dariku yang aku janjikan, aku memberimu beberapa baju yang sudah tidak aku pakai. Tapi masih bagus kok, aku hanya jarang memakainya."

Miss Annete menarik kantung plastik itu dan melihat kedalamnya. Dia lalu mengangkat kedua tangannya kearahku. "Kesinilah anakku." katanya sambil memajukkan bibirnya.

"Sial.. Jangan ini lagi..." kesalku dalam hati. Dia lalu memelukku dengan erat mengubur kepalaku di dadanya, membuatku susah bernafas. Aku tidak tahu bagaimana nasib Adele yang hidup bersamanya.

Setelah itu kami berpamitan dan pergi kerumah. Wajah miss Annete terlihat sedikit sedih meskipun dia tersenyum dan melambai-lambaikan tangannya. Aku rasa dia hanya takut.

----

Saat berada dirumah aku bergegas pergi keruanganku dan mengganti pakaianku. Aku memakai baju yang diberikan oleh miss Annete dan celana jeans, aku lalu berlari kebawah.

"Aku akan pergi sebentar, bolehkah aku meminta uang jajanku?" kataku dengan terengah-engah kepada ibu sambil bergegas memakai sepatu.

Ibu yang sedang duduk disofa lemas menatapku dengan bingung. "Kenapa? Kau mau kemana?"

"Ke toko, aku harus membeli sesuatu dengan cepat."

Wajah ibu bingung, tapi dia tahu aku sedang buru-buru. Dia lalu memberiku uang, aku tidak menghitungnya dan memasukannya kesaku dengan cepat.

"Hati-hati dijalan, jangan berlarian, jangan sampai bernasib sama dengan Annete."

"Ya ya..."

Aku berlari keluar dan melihat jam diponselku. "Jam sepuluh lebih sebelas. Aku harap Mono tidak jadi datang, akan aku pastikan dia tidak ada disana." kataku dalam hati sambil berlari secepat mungkin.

Aku bisa melihat taman itu dikejauhan sini. Aku berhenti sesaat untuk mengambil nafas, mataku terpaku ke sesosok orang yang sedang duduk di bangku taman, tempat aku dan Mono kemarin bertemu.

Aku tidak bisa melihatnya dengan jelas, tapi wujud tubuhnya memang sangat mirip dengan Mono. Aku berjalan secara perlahan, kaki-kakiku sudah terasa sangat lemas karena tadi dirumah sakit. Aku lalu melihatnya dengan jelas, dia adalah Mono, wajahnya terlihat sangat gelisah dan sedih.
Aku berlari kecil kearahnya, namun lariku terpotong saat seseorang menghampiri Mono. Dia adalah seorang laki-laki yang bertampang sangat mengerikan. Dia menghampiri Mono dan menariknya dengan tangannya. Tangan Mono ditarik dan dia dipaksa untuk mengikuti orang tersebut dengan paksa dan keras, aku hanya bisa menatapnya dikejauhan.

"Mono... Mana mungkin dia menungguku terus disana berjam-jam." kataku dalam hati dengan jantung berdebar kencang. "Siapa bapak-bapak kejam itu? Jangan bilang dia ayahnya. Sialan... Kenapa tempat ini berubah menjadi bar-bar seperti ini."

Aku tidak henti-hentinya mengutuk diriku sendiri karena kejadian itu. Mungkin Mono bersusah payah untuk menepati janjinya sampai-sampai harus melawan orang tuanya. Aku rasa bapak-bapak yang marah tadi memang mendukung pernyataan itu. Aku tidak percaya Mono akan menungguku disana selama itu, atau mungkin dia juga baru datang. Tapi entahlah.

Waktu itu aku pergi ke toko dan membeli makanan untuk meredam rasa bersalahku. Aku memang sering makan jika aku mengalami tekanan. Dan faktanya aku memang sering makan.

Aku kembali kerumah dengan murung sambil menjilati eskrim. Aku berjalan menghiraukan ibu yang sedang duduk disofa sambil membaca buku.
Ibu menengok kearahku. "Adele akan menginap disini besok. Annete akan dipindahkan ke tempat lain untuk melanjutkan perawatannya dan kita tidak akan bisa melihatnya untuk beberapa saat."

"Adele akan tidur dimana? Oh iya, dimana lagi  kalau bukan bersamaku." kataku dengan nada mengejek.

"Yap, aku rasa tidak ada tempat lain. Dia tidak akan mau diajak tidur bersamaku."

"Kenapa dia tidak menginap dirumah keluarganya saja? Neneknya atau siapalah."

"Tidak bisa, Annete dan Adele adalah keluarga yang tersisa. Mereka berdua dititipkan ke panti asuhan sampai Annete keluar saat mendapat pekerjaan."

"Kalau begitu titipkan saja dia ke panti asuhan." kataku dengan lancang.

Ibu berdiri dan berjalan ke arahku. "Ayolah Maval. Apa yang sebenarnya terjadi kepadamu? Dia tidak akan menginap disini selamanya. Tapi kalau kau tetap keberatan, aku akan tidur disofa sini dan Adele dikamarku." kata ibu sambil mengusap kepalaku, kemudian berjalan ke atas.

"Ba.. Baiklah, Adele bisa tidur bersamaku. Kasurnya memang cukup untuk ditiduri berdua, tapi... Ti.. Tidak, lupakan saja."

Ibu tersenyum, lalu melanjutkan langkahnya.

••••

Maval FolsterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang