Bagian - 3

6 1 0
                                    

Aku menuruni tangga kembali dan mencoba untuk mencari ibu. Mungkin dia berada di belakang rumah sedang membetulkan pintu dan pagar yang rusak. Aku turun dan berjalan ke pintu belakang, tapi dia tidak ada disana. Aku membuka pintu itu dan mengamati halaman belakang, dia juga tidak ada disana, dan anehnya sepatunya yang dia pakai ada disini, dia tidak pergi keluar rumah.

"Kemana betina itu? Tidakkah dia tahu aku sangat kelaparan?" gumamku.

Seseorang lalu menyentuh pundakku, dengan kaget aku berbalik sambil berteriak.

Itu adalah ibu, dia menekankan kepalan tangannya ke kepalaku. "Apa yang kau katakan tadi? Bukankah sudah aku bilang aku akan lapor ke nenek jika kau mengulanginya lagi?"

"Ma.. Maafkan aku.. Habis aku kesal kau tidak memberiku makan... A.. Aku kelaparan tahu!" kataku sambil mencoba menyingkirkan tangannya dari kepalaku.

"Oh ya? Bukannya kau sudah menghabiskan kue-kue yang aku beli tadi? Kuenya banyak loh..." kata ibu, aku terdiam dan memajukan bibirku.

"Oh iya..." kataku mencoba untuk mengubah topik pembicaraan. "Apa kita tidak jadi jalan-jalan? Hari sudah mulai sore dan kau akan bekerja besok. Aku rasa pasar-pasar dan toko sudah mulai tutup." kataku.

Ibu memeriksa jam tangannya. "Hmm... Benar juga. Tapi aku rasa kita harus tetap jalan-jalan, kita akan rubah rencananya jadi nanti malam. Katanya di taman sebelah terdapat banyak toko yang dihiasi cahaya neon, tempat itu juga remang-remang dan suasananya klasik. Gimana kalau kita pergi kesana?"

"Te.. Tentu saja! Aku suka hal-hal berbau klasik, kau tahu itu kan? Mungkin kita juga bisa menemukan toko CD game lama, aku akan memborong semuanya dengan tabunganku!" teriakku dengan girang, ibu lalu menekankan kepalan tangannya ke kepalaku lagi.

"Sudah kubilang cuma suasananya yang klasik. Kalau mau beli barang-barang seperti itu mana ada, dan juga simpanlah tabunganmu baik-baik, jangan dihamburkan ke barang tidak berguna." katanya.

Aku berusaha menyingkirkan tangannya dan mundur satu langkah. "Te.. Terserah aku dong, itu semua kan uangku... Lagipula yang lebih penting sekarang adalah, apakah kau sudah memasak? Aku kelaparan setengah mati sekarang."

"Tadi aku menemukan sebuah ruangan rahasia dan menjelajahinya, saat itu aku terlalu fokus mengamati ruangan itu yang dipenuhi barang-barang peninggalan kakek dan lupa untuk memasak." kata ibu sambil berjalan pergi ke dalam rumah.

Aku berjalan mengikutinya dengan penasaran. "Ruangan rahasia? Dimana itu?" tanyaku.

"Sebenarnya gak rahasia sih... Hanya karena aku yang menemukannya, aku akan menamakan ruang itu ruang rahasia, dan kalo mau tahu dimana cari saja sendiri."

"Lah kok gitu? Emangnya kenapa harus dirahasiakan?"

"Hmm... Rahasia."

Ibu berjalan ke dapur. Karena penasaran aku tetap membuntutinya.

"Ayolah, memangnya ke..." perkataanku terpotong saat aku melihat sebuah celah di lantai dapur paling ujung, tempat itu adalah tempat dimana aku melihat kayu kotak yang tadi tergeletak, tapi karena tadi tertutupi oleh kabinet jadi celah itu tidak kelihatan.

"Hmm, jadi disini rupanya." kataku sambil berjalan menuju celah itu, sementara ibu mengabaikanku dan mulai memasak sesuatu. "Oke, kita lihat ada apa didalamnya."

Aku menarik sebuah lekukkan yang ada di kayu kotak itu dan membukannya. Lalu terlihat sebuah lorong yang gelap, terdapat tangga kayu yang menurun kebawah.

"Sialan, terlalu gelap. Aku tidak berani turun kalau begini." kataku dalam hati, aku memang takut kegelapan.

Sebenarnya aku itu orang yang penakut. Berbeda dengan orang lain yang hanya memiliki beberapa fobia saja, hampir segala fobia aku miliki. Takut ketinggian, takut kegelapan, takut laba-laba, bahkan kepada keramaian saja aku takut.

Aku menengok ke arah ibu yang sedang mengoseng-oseng sesuatu. Aku bisa melihat wajah liciknya sekilas, aku yakin dia menyembunyikan senter ditubuhnya yang tadi dia pakai untuk turun ke bawah, entah kenapa dia tidak membiarkanku masuk kesana dengan mudah. Terkadang dia memang seperti itu, dia tidak suka jika aku mendapatkan sesuatu dengan instan, katanya aku harus membiasakan diri untuk bekerja sendiri, dia memang jarang menyuruhku jika itu untuk kepentingannya, dia selalu melakukan segalanya sendiri.

Aku ingat kepada senter yang aku dapatkan dirumah nenek. Senter itu aku simpan di kamarku untuk berjaga-jaga saat mati lampu. Aku berdiri dan melangkahkan kakiku menuju ke lantai atas, tapi ibu memberhentikanku.

"Tunggu, kau mau kemana?"

"Ngambil senter."

"Ini, pakai punyaku." kata ibu sambil membawa senter berukuran sedang dari sakunya.

"Harusnya kau berikan ini dari tadi."

Aku membawa senter itu dan pergi ke lorong. Aku berjalan perlahan menuruni tangga, aku laly menyorotkan senter itu ke sekeliling ruangan.

"Lampu! Kita lihat apakah ini berfungsi." aku mengayun-ngayunkan senterku ke seluruh ruangan mencari sebuah saklar, tapi tidak ada apapun disana, yang aku lihat hanyalah sebuah noda kotak gelap bekas sesuatu, mungkin bekas saklar.

"Banyak kardus... Tempat ini juga banyak debu, aku rasa aku akan kembali kesini nanti setelah ibu membereskannya." aku berbalik dan berjalan kembali ke atas.

Kakiku menendang sesuatu saat aku sedang berjalan, dengan reflek mataku langsung tertuju kepada benda itu yang tergelincir kedepan. Aku berjalan kesana dan membawa benda itu, itu adalah sebuah buku.

"Buku apa ini? Kok covernya kosong." gumamku. Aku lalu membuka buku yang penuh dengan debu itu. Terdapat judul yang ditulis tangan di halaman pertama, judul itu tertulis 'Pikiranku'.

"Maval! Ayo makan!" teriak ibuku, aku lalu membersihkan buku itu dari debu dan membawanya ke atas.

Mata ibu membelalak ketika dia melihatku keluar dari sana, dia lalu menggelengkan kepalanya.

"Lihatlah bajumu Maval."

Aku melihat kebawah, aku kaget ketika melihat bajuku kotor karena debu. Bajuku berwarna putih dihiasi dengan gambar matahari ditengahnya, sekarang debu terlihat membekas jelas disana.

"Ah, nanti aku ganti." kataku.

"Ganti sekarang atau kau tidak boleh makan. Oh, benda apa itu?" tanya ibu.

"Ini buku. Aku tidak tahu ini buku apa."

Aku sangat menyukai buku. Bagiku, diberi hadiah sebuah buku saat ulang tahun berkali lipat lebih baik daripada diberi bunga atau hadiah lainnya. Aku menghabiskan waktu luangku untuk membaca dan menggambar. Aku sebenarnya mempunyai banyak sekali hobi lain selain menggambar dan membaca, yaitu berenang, menyanyi, dan menari, hal itu sangat menyenangkan bagiku. Kecuali dengan hiking dan lari, hal-hal melelahkan seperti itu membuatku malas, aku sangat membenci hal-hal yang melelahkan.

Aku lalu berjalan ke ruanganku di atas. Aku mengganti bajuku, melemparkan baju berdebu-ku ke lemari kecil dekat pintu.

"Baiklah, saatnya makan."

••••

Maval FolsterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang