[16] Pulih atau Hanya Peduli?

738 45 47
                                    

“Gue selalu bertanya pada diri gue sendiri selama ini. Kenapa... kenapa cuma ngelihat lo beberapa detik begini membuat pertahanan gue runtuh gitu aja? Yang bahkan gue berjuang mati-matian buat bangun itu semua.” — Tara.




“Seberapa jauh gue mencoba mencari pelarian yang lain, herannya gue ngga bisa. Ngga bisa ngehilangin bayangan lo. Heran ya, kenapa gue bisa sebucin ini sama lo?” — Arsya.





“... dari semua orang, kenapa harus elo?” — Natchadiary.


Hahaha, lucu rasanya ketika dulu yang pernah ada, yang pernah mengumbar rasa di depan orang lain mendadak menghilang, tanpa kata lalu dengan mudahnya datang lagi, dengan dia yang baru.


Benar-benar lucu ya kamu.

—Detak Memori—

“Ini, lo tuh emang sengaja modus ya? Sengaja amat ngeyong gini?” Tara sudah mendecih sinis pada Arsya yang dengan menyebalkannya sedari tadi membawa motornya dengan kecepatan siput berjalan.



Arsya justru tertawa melihat wajah kesal Tara dari kaca spionnya. “Emang.”

Tara jadi mengumpat karenanya. Arsya itu memang tidak berubah rupanya, sama-sama menyebalkan dan pedenya itu luar biasa tinggi yang membuatnya menyesal menuruti jebakan pemuda itu.

“Mending gue jalan kaki.”

Mendengar Tara yang masih mengomel justru membuat Arsya sengaja menggeber motornya begitu saja tanpa aba-aba yang membuat Tara berteriak kaget hingga tangannya jatuh begitu saja memeluknya dengan erat.




KAMPRET SI KERDUS.


Arsya tertawa karenanya, melihat wajah Tara dari kaca spionnya dan bagaimana gadis itu memeluknya barusan. Rasanya seakan ada yang kembali baginya.

Tara mengumpat karenanya, walaupun entah bagaimana rasanya tetap sedikit menyenangkan. Rasanya seakan dia begitu merindukan pemuda ini. Membuatnya lagi-lagi terjebak nostalgia kecil hanya karena momen sederhana begini.

Mengingat bagaimana dulu mereka tertawa bersama begini, diatas si Maudy—motor hitam Arsya, yang bahkan sangat tidak cocok namanya dengan motor manly itu.



“Lo sesuka itu ya meluk gue?”



Tara mengerjapkan matanya. Sadar dia barusan melamunkan hal bodoh, dengan pipinya yang menempel pada bahu Arsya serta tangannya yang melingkar pada pinggang pemuda itu. Ah, sial dia terbawa suasana.

Hampir Tara menarik tangannya begitu saja, tapi satu tangan besar Arsya sudah menahannya lebih dulu.


“Ngga papa, gue suka.”


Harusnya Tara benci mendengar Arsya mengatakan hal menyebalkan itu. Tapi hatinya lain, dia egois dengan berseru agar dia mengiyakan hal itu. Hal yang membuat logikanya berdebat, bahwa dia harus melepasnya.

Detak memoriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang